“Banyaknya kasus yang menyeret
beberapa pejabat negara seperti halnya Gubernur Banten Ratu Atut, dia terjerat
dan diseret ke meja hijau dengan kasus Korupsi dan Nepotisme".
Dalam wikepedia kata
Nepotisme diartikan
lebih memilih saudara atau teman akrab berdasarkan hubungannya bukan
berdasarkan kemampuannya. Kata ini biasanya digunakan dalam konteks
pemerintahan (birokrasi) di mana seorang pemimpin dalam pemilihan pejabat atau
pembantunya didasarkan atas pertimbangan kedekatan keluarga atau berdasarkan
hubungan darah atau dengan istilah lain saya menyebutnya berdasarkan
kroniloby. Kroniloby berasal dari kata Kroni dan
Lobbi, artinya penentuan atau penunjukan pejabat untuk menempati suatu jabatan
berdasarkan kedekatan dan lobi busuk lainnya, artinya bukan didasarkan atas
kompetensi yang dibutuhkan untuk jabatan terkait.
Allah SWT berfirman yang artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh berlaku adil, dan berbuat kebaikan,
serta memberi bantuan kepada kaum kerabat dan melarang daripada melakukan perbuatan-perbuatan
yang keji dan mungkar serta kezaliman. Ia mengajar kamu
(dengan suruhan dan larangan-Nya ini), supaya kamu mengambil peringatan
mematuhi-Nya”. (QS. An-Nahl: 90).
Dalam Ayat di atas secara
instruksional kita dapat melihat bahwa ada perintah yang diikuti oleh larangan.
Yang pertama “Allah menyuruh berlaku adil, dan berbuat kebaikan, serta
memberi bantuan kepada kaum kerabat” kemudian
Allah melarang perbuatan-perbuatan yang keji dan mungkar serta kezaliman.
Terkait dengan Nepotisme sejatinya
tidaklah dilarang, seandainya tidak menimbulkan kemungkaran dan kedhaliman,
misalkan dalam sebuah struktur pemerintahan (public) seorang pemimpin sah-sah
saja menunjuk pejabat yang berasal dari keluarga dekatnya, asalkan memenuhi
kompetensi dan berbagai persyaratan yang dibutuhkan untuk menjalankan tanggung
jawab yang akan didelegasikan kepadanya, lantas jika “kerabat” yang ditunjuk
tidak memenuhi kompetensi yang dibutuhkan, maka akan menghambat kinerja
pemerintahan yang “secara langsung atau tidak” akan menghambat pemenuhan hak
public dan hal ini tergolong dalam mungkar dan kedhaliman, jika demikian adanya maka
Nepotisme (penempatan orang dekat) tersebut menjadi terlarang.
Dengan kata lain jika yang diserahi
tugas itu adalah kerabat dekat dari orang yang memberi tugas, bukanlah menjadi
persoalan. Yang penting apakah orang tersebut memenuhi persyaratan atau tidak.
Jadi prinsip yang ditanamkan dalam Islam adalah soal kompetensi seseorang atas
sesuatu jabatan, bukan ada tidaknya hubungan kekerabatan. Kalaupun sekiranya
pemangku sebuah jabatan adalah keluarga dari pemimpin yang berkuasa untuk
menunjuknya, selama orang tersebut berkompeten/berhak dan tidak ada pihak-pihak
yang merasa dizalimi, maka hal itu tidaklah menjadi persoalan Seperti yang
tersirat dalam ayat Al-Qur-an diatas.
Seharusnya Kompetensi Menjadi Acuan Utama Pemilihan Pejabat.
Rasulullah SAW bersabda: "Jika amanat telah disia-siakan,
tunggu saja kehancuran terjadi." Ada seorang sahabat bertanya; ‘bagaimana
maksud amanat disia-siakan? ‘Nabi menjawab; "Jika urusan diserahkan bukan
kepada ahlinya, maka tunggulah kehancuran itu." (Hr.Bukhari). Secara instruksional bisa kita
pahami bahwa, Rasulullah SAW menginstruksikan agar kita menyerahkan sebuah
pekerjaan pada orang yang tepat, jika tidak maka tunggulah kehancurannya”.
Jadi dalam rangka mencari orang yang tepat untuk memangku sebuah
jabatan harus benar-benar didasarkan pada pertimbangan Kompetensi atau keahlian
yang dibutuhkan untuk jabatan terkait, baik dalam mutasi atau bongkar pasang
pejabat, maupun dalam penunjukan pejabat baru dalam sebuah struktur
pemerintahan, sehingga kinerja pemerintahan benar-benar dapat berjalan maksimal.
Misalkan untuk menjabat kepala dinas pendidikan maka harus
benar-benar orang yang kompeten untuk mengurus pendidikan, untuk menjadi kepala
dinas bina marga haruslah orang-orang yang paham dan mampu bekerja untuk
malaksanakan pembangunan di daerah terkait, sehingga kinerja pemerintah dapat
lebih maksimal dan rakyat juga akan mendapatkan keadilan.
Seharusnya setiap pejabat yang ditunjuk harus mengacu pada
criteria-kriteria objektif artinya pemilihan harus benar-benar mengacu pada
kompetensi, hal ini hanya bisa diwujudkan jika dalam setiap penunjukan pejabat
tersebut dilakukan dengan mengacu pada dasar-dasar TRANSPARANSI, AKUNTABILITAS
dan pertimbangan BAPERJAKAT. Untuk mendukung hal “good governance” tersebut
dalam proses recruitment atau setidaknya dalam “menentukan” sosok yang akan
dipromosikan untuk mengemban amanah untuk meningkatkan perform pemerintah harus
dilakukan secara fair yaitu dengan membentuk suatu tim independent yang bebas
dari tekanan dan kepentingan politik kelompok tertentu, kemudian terbuka saja,
siapa berminat “merasa” pantas dan sanggup silakan daftar, lalu lakukan
fit and proper test seperti yang pernah dilakukan
Irwandi Yusuf.
Namun demikian, setelah melakukan serangkaian uji kelayakan
tersebut maka baru “dicampuri” atau disesuaikan dengan selera pemimpin tentunya
dari sosok-sosok yang telah melewati dan memenuhi criteria yang dibutuhkan
“bukan yang diinginkan” karena dalam hal ini tidak bisa dinafikan juga
bahwa sang kepala pemerintahan juga punya “selera” tersendiri, tapi bukan
dengan mengabaikan aspek atau unsur-unsur yang “lebih” urgen sesuai dengan jabatan terkait, untuk meningkatkan kinerja pemerintahan.
Seperti kapasitas, kapabilitas dan kualitas yang sesuai dengan criteria “good
governace” itu sendiri, dengan kata lain penunjukan pejabat itu harus dilakukan
dengan fair, proporsional
dan professional yaitu dengan melibatkan public “terbuka” bukan malah dengan
lobi-lobi “gelap para kroninya”. Apa lagi dilatari “tekanan” atas bawah,
“bisikan busuk” kiri kanan, hubungan darah dan berbagai “alasan” yang tidak
objektif lainnya.
Intinya penunjukan kerabat sebagai pejabat itu pada dasarnya
bukan merupakan sesuatu yang “salah” asalkan dilakukan secara objektif dan
proporsional.
Bahkan bisa dikatakan “Nepotisme lebih berbahaya darapada korupsi” mengapa demikian? Karena meskipun korupsi sudah
diberantas, tapi jika masih ada kolusi dan nepotisme, maka korupsi masih akan
muncul kembali.
Semoga pejabat yang dipilih pemimpin kita untuk mengisi semua
jabatan di pemerintahan benar-benar bukan atas dasar pertimbangan NEPOTISME,
melainkan benar-benar didasarkan atas KOMPETENSI sehingga dapat memberikan
dampak positif terhadap kinerja pemerintah yang pada akhirnya akan meningkatkan
kemakmuran rakyat!