Alhamdulillah,
solusi yang ditunggu untuk mendamaikan dan menertibkan kembali pelaksanaan
ibadah di Masjid kebanggaan rakyat Aceh akhirnya telah disepakati, sebagaimana
yang kita ketahui bersama bahwa dalam beberapan waktu terakhir situasi ibu kota
mengalami "sedikit" kegaduhan yang mengusik kenyamanan ummat dalam
menjalankan ibadah di Mesjid Raya Baiturrahman khususnya dan kenyamanan ummat
lslam di Aceh dalam skala yang lebih luas umumnya.
Kegaduhan
atau kisruh tersebut terkait tatacara dan tata tertib pelaksanaan ibadah shalat
jum'at dan juga shalat tarawih di masjid kebanggaan tanah rencong tersebut yang
melibatkan dua kubu ummat yang berselisih paham terkait hal tersebut dan
menariknya ntah sengaja atau terbawa suasana kisruh tersebut ikut
"menyeret" pemerintah Aceh yaitu eksekutif dalam konteks ini Gubernur
Aceh dengan Legeslatif atau DPRA.
Di
mana Gubernur "diberitakan" berada di kubu yang mendukung tatib
pelaksanaan ibadah yang selama ini berlaku secara resmi di MRB sementara di pihak
lain DPRA "diberitakan" berada di fihak yang berseberangan, secara
politis ini menjadi cerita lanjutan perselisihan Gubernur (Eksekutif) dan DPRA
(Legeslatif) namun pada dasarnya kisruh ini bukan hal baru, betapa tidak?
Khilafiyah (perbedaan pandangan) terkait pelsksanaan shalat jum'at dan tarawih
ini bukan perselisihan baru, atau dengan kata lain ini adalah perselisihan yang
sudah berlangsung sudah sejak lama.
Namun
ntah mengapa dan kenapa, ntah incident (kebetulan) atau memang in desain
(direncanakan) tahun ini dengan kondisi pemerintah Aceh yang sedang
"terpecah", persoalan perselisihan tersebut seperti mendapat panggung
baru dan energi tambahan, yang pada akhirnya "seoalah-olah"
tergambarkan gubernur tidak sepakat dengan wacana perubahan tatib sementara
sebaliknya DPRA sangat mendukung perubahan tatib seperti yang ramai
disuarakan akhir-akhir ini, yang bahkan sempat menimbulkan beberapa
"tindakan" atau kejadian yang sebenarnya bisa dikatakan tidak bijak,
kenapa dikatakan tidak bijak? Karena lebih mengedepankan cara-cara yang tidak
elegant.
Alhasil
sebuah pemandangan asing yang selama ini kerap terjadi di luar Aceh telah
terjadi dan dipertontonkan di Aceh, kericuhan terjadi di Masjid Raya
Baiturrahman, ini sungguh jauh dari apa yang dikenal selama ini ummat lslam di
Aceh sangat damai dan santun, namun dengan terang benderang kali ini stigma itu
perlahan mulai berubah, Islam di Aceh rupanya juga terpecah dan tidak sedamai
yang selama ini tergambarkan, ini jelas merugikan Aceh, karena kita telah
merusak apa yang selama ini terlihat bahwa ummat Islam di Aceh itu santun,
terlepas dari salah atau benar namun kita telah meninggalkan cara-cara yang arif
dan bijaksana yang sebenarnya masih bisa kita tempuh untuk mencara jalan keluar
yang bisa dan lebih terhormat dari cara-cara yang terkesan anarkis yang telah
terjadi.
Alhamdulillah
meski terlambat dan terlanjur merusak citra damai lslam di Aceh namun kali ini
para pihak di Aceh masih bisa terselamatkan dari hal-hal yang lebih buruk dan
lebih memalukan lagi, sebagaimana diberitakan salah satu media lokal Aceh bahwa
para pihak di Aceh telah mencapai kesepakatan atau konsensus untuk menghindari
perpecahan yang lebih besar di tengah ummat dengan mengakomodir perubahan tatib
pelaksanaan ibadah di MRB. Yaitu dengan penambahan sejumlah tata cara beribadah
di Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh terakomodir dalam rapat di Mess Wali Nanggroe
Aceh, di Geuceu, Banda Aceh, Senin malam, 22 Juni 2015. Rapat tersebut dipimpin
langsung oleh Wali Nanggroe Aceh Malik Mahmud Al Haytar, dan Ketua DPRA, Bahwa
Tata cara yang ditambah adalah azan dua kali, khatib memegang tongkat,
khutbah diulang (mualat) untuk (salat) Jumat. Sementara untuk salat tarawih
ditetapkan 20 rakaat.
Semoga
dengan lahirnya kesepakatan tersebut, semua pihak yang sebelumnya berselisih
bisa sama-sama menghormati hasil konsensus tersebut dengan penuh kedewasaan,
kita harus sebisa mungkin mengedepankan kedamaian dan kenyamanan dan menjauhkan
nada-nada angkuh nan merendahkan yang seakan-akan ada fihak yang kalah dan
menang dalam consensus ini, kita harus melihat konsensus ini sebagai kemenangan
bersama dan wujud aktual kedewasaan para pihak untuk menyelamatkan
kemashalahatan dan persatuan ummat.
Namun
terlepas dari itu semua, pasca lahirnya konsensus tersebut, akan terlebih
afdhal dan indah jika saja sang Wali Nanggroe yang selama ini digambarkan
sebagai sosok yang punya peran yang sangat strategis untuk menyatukan ummat
bisa mengambil kesempatan ini untuk membuktikan pada ummat bahwa Malek Mahmud
memang pantas menjadi penengah ummat lslam di Aceh.
Alangkah
elegant jika Wali Nanggroe menjadi khatib di kesempatan pertama pasca
konsensus.
Whell
Beranikah Sang Wali Nanggroe???
Jika tidak maka pantas saja jika ada yang terus mempertanyakan kepantasan seorang Malik Mahmud menyandang gelar sebagai Wali Nanggroe di Negeri Syariah ini, atau bahkan patut dipertanyakan kelayakan dan arti penting keberadaan Lembaga Wali Nanggroe yang dibiayai dengan uang Rakyat yang tidak sedikit setiap tahunnya, semoga saja apa yang digambarkan selama ini tentang Wali Nanggroe bisa dibuktikan kepantasannya ditengah-tengah kehidupan rakyat Aceh.
Artikel Terkait:
KISRUH MASJID RAYA BAITURRAHMAN, ULAMA DAN UMARA BENTURAN ATAU DIBENTURKAN?