PAKET MEUGANG ANTARA
PERHATIAN DAN PELECEHAN.
(Pejabat
di Aceh mengamati daging meugang)
Meugang adalah
tradisi memasak daging dan menikmatinya bersama keluarga, kerabat oleh
masyarakat Aceh, Meugang atau Makmeugang adalah
tradisi yang dilaksanakan setahun tiga kali, yakni menjelang Ramadhan,dan menjelang dua hari raya yaitu Idul Fitri dan
Idul Adha, Sedangkan
di kota atau bagi kalangan pelt merah berlangsung satu hari lebih cepat atau
yang disebut dengan Meugang Kanto.
Pada
dasarnya setiap kepala keluarga akan berusaha semampunya untuk dapat memenuhi
kebutuhan keluarganya secara mandiri dan penuh tanggung jawab tidak terkecuali
di hari meugang, kalo pada hari-hari biasa selain meugang sang kepala keluarga
sudah terbiasa memenuhi kebutuhan rumah tangganya secara lazim, namun berbeda
dengan hari meugang, di hari meugang ada “kewajiban” kusus dan ada tuntutan kusus yang harus
dipenuhi oleh setiap kepala keluarga yaitu dengan membelikan daging untuk
dibawa pulang ke rumah, tradisi meugang ini seakan menjadi pembuktian terhadap
kesiapan seorang lelaki untuk bertanggung jawab memenuhi kebutuhan keluarganya
atau dengan bahasa yang lebih tegas bisa dikatakan meugang adalah pertaruhan
harga diri seorang lelaki Aceh, apakah mampu mengasapi dapur dirumahnya dengan
menu khusus yaitu daging? Atau tidak? Jika mampu maka seorang lelaki Aceh telah
mampu menyelamatkan harga dirinya sebagai seorang kepala rumah tangga.
Sebaliknya
jika tidak maka dia akan merasakan beban yang luar biasa karena belum
mampu memberikan apa yang diberikan kepala keluarga lainnya kepada keluarganya,
biasanya lelaki Aceh akan berusaha sekuat tenaga untuk dapat memastikan bahwa
di hari meugang ada sedikit uang untuk dapat membeli daging meski dengan
kuantitas yang berbeda antara satu kepala keluarga dengan keluarga lainnya,
namun setidaknya ia bisa membawa pulang daging kerumah meski sekilo, jika
memang pada saatnya ia belum juga punya uang yang cukup maka ia akan berhutang
kepada orang lain demi menyelamatkan harga dirinya sebagai kepala keluarga.
Tradisi
tersebut memang terus bertahan, namun akhir-akhir ini tradisi meugang mulai
memperlihatkan warna yang berbeda, bahlan jauh berbeda dari sebelumnya, jika
sebelumnya setiap kepala keluarga akan berusaha mati-matian menyelamatkan harga
dirinya untuk menyediakan sekilo daging meugang untuk keluarganya, akhir-akhir
ini hal ini telah berubah, kalau dulu lelaki Aceh rela berhutang atau menjual
apapun yang dimilikinya demi harga dirinya namun hari ini yang terjadi adalah meugang
seakan-akan menjadi moment keruntuhan harga diri seorang laki-laki. Betapa
tidak? Realitas akhir-akhir ini menunjukkan bahwa setiap mendekati meugang para
lelaki Aceh sudah mulai mengincar atau mencari peluang untuk mendekati pejabat
public, fenomena ini secara tidak langsung juga membuktikan dan menasbihkan
bahwa lelaki Aceh telah menggunakan cara yang salah untuk menyelanmatkan harga
diri, cara yang ditempuh untuk menyelamatkan harga diri untuk memenuhi
kebutuhan meugang malah dengan meruntuhkan harga diri.
Solusi untuk
memerdekakan rakyat!
Kenapa
hal ini terjadi? katakanlah sebahagian dari lelaki Aceh tidak mampu atau tidak
punya uang yang cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarganya di hari meugang,
kenapa tidak sanggup? Ini bisa saja karena mereka tidak punya pekerjaan, kenapa
mereka tidak punya pekerjaan? bisa saja mereka tidak punya skill atau tidak
punya modal. Coba saja mereka punja
skill, punya lapangan kerja, punya modal dan pemerintah punya kreasi yang
memberikan solusi atas kesulitan yang dihadapi rakyatnya sungguh mereka tidak
perlu "mengamuk" dan "peukanjai" droe alias
mempermalukan diri untuk merdeka di tiga hari meugang saja?
Katakanlah mereka yang
tidak punya skill pemerintah bisa mengupayakan program pelatihan atau pembinaan
khusus agar rakyatnya punya skill untuk memberdayakan diri dan bisa memenuhi
kebutuhannya secara mandiri, atau bagi mereka yang punya skill namun tidak
punya modal maka seharusnya pemerintah bisa mengupayakan untuk memberikan
bantuan atau pinjaman modal agar rakyatnya bisa hidup mandiri yang tentunya
harus terkontrol sehingga bantuan modal yang diberikan tidak sia-sia dan harus
bisa dipastikan dapat dikembangkan sesuai dengan skill yang sudah dimiliki atau
yang telah dibekali oleh pemerintah. Jika ini telah dilakukan Insya Allah
rakyat akan berdaya dan mampu memenuhi kebutuhannya secara mandiri tanpa harus
berharap jatah meugang di meja kepala dinas.
Apakah
benar hanya dilatari oleh ketidak berdayaan? tidak tertutup kemungkinan juga
fenomena kegaduhan menjelang meugang juga disebabkan karena sebahagian lelaki
Aceh merasa berjasa pada pejabat tertentu sehingga merasa berhak untuk menuntut sedikit
balasan atas kerja kerasnja menghantarkan para pejabat itu ke puncak kekuasaan. Jika dikatan seutuhnya dilatari oleh ketidak mampuan coba cek
yang datang ke kantor gubernur dan meja kepala dinas, mereka mengendrai Avanza
dan pake android kita perkirakan saja mobil rental, kenapa memilih rental mobil
daripada membeli kebutuhan hari meugang dengan uang yang mereka keluarkan?
Jadi banyak asbab yang
membawa mereka ke pintu rumah pejabat atau kantor pemerintah, bukan semata-mata
persoalan ketidak mampuan. Dan ini konsekwensi logis dari sistem perpolitikan
kita terutama pasca damai, betapa tidak? Para pejabat itu mendapatkan posisinya
berkat atau berbekalkan jasa atau perjuangan orang lain, ketika pemilu mereka
jatuh bangun, pontang panting, bahkan tidurpun tidak sempat demi mengamankan
jagoannya dan "mengalahkan" jagoan orang lain, bahkan sebahagian dari
mereka mempertaruhkan njawa demi dan hanja demi jabatan yang harus didapatkan
oleh jagoannya.
Andai saja para
pejabat itu paham dan menyadari betul akan hal ini sungguh mereka tidak akan
bisa tidur sebelum rakjatnya tidur dengan perut terisi dan kebahagian dan
kemapanan sebagaimana yang ia dapatkan dari pengorbanan mereka yang hari ini
dituduh pengacau dan peneror.
Semoga
ke depan kita semua menyadari ini agar persoalan yang sama tidak terulang untuk
kesekian kalinya. Ini
realitas yang telah berjalan dan semakin menjadi jadi dari tahun ke tahun
di Aceh akhir-akhir ini. (Baca: Wajarkah Eks Kombatan mendatangi kantor Gubernur?)
(Foto:
Pengawalan super kampanye kandidat gubernur di Aceh)
Lantas untuk menyahuti kondisi tersebut, ada pejabat public yang
memilih menghindar dengan berbagai cara dan modus yang bisa digunakan untuk
mengamankan diri, sehingga kita bisa membaca di media ada berita dengan judul “Pejabat Aceh Ramai-ramai Nonaktifkan Handphone
Jelang Meugang” atau ada pejabat
tertentu karena rela atau terpaksa harus melayani permintaan-permintaan dari
sebahagian lelaki Aceh tadi, bahkan ada juga pejabat yang memang telah
mempersiapkan diri untuk melayani dan menghadapi fenomena panik menjelang
meugang tersebut terleps dari adanya kepentingan lain dibalik kesiapan itu, misalnya
dengan mempersiapkan paket meugang, baik dengan memberikan uang atau setumpuk
daging atau dalam bentuk lainnya yang pada dasarnya adalah paket kusus yang
hanya diberikan di hari meugang atau setahun tiga kali, dengan harapan rakyat
bisa senang dan merasa “merdeka” di tiga hari tersebut, meskipun di hari-hari
lainnya mereka harus menderita.
(Seorang
Wanita sedang memanjat pagar demi paket meugang)
Yang
penting di tiga hari tersebut mereka sejahtera, jika di
tiga hari itu saja mereka tidak sejahtera bagaimana dengang hari-hari kecil
lainnya? Pun begitu "kesejahteraan?" di tiga hari meugang tidak
dijadikan ukuran bahwa rakyat telah sejahtera, pemerintah telah sukses
membenahi kehidupan rakyatnya, pejabat telah sukses mengemban amanah yang
diberikan atau yang direbut olehnya, kita perlu melihat lebih jauh kenapa
mereka "tidak sejahtera" di tiga hari meugang tersebut? Sampai harus
berharap "disejahterakan" oleh pejabat di tiga hari meugang saja? Ini
semua dikarenakan mereka belum merdeka di hari-hari kecil lainnya.
Lantas kenapa sampai
hari ini rakyat belum juga mandiri? belum juga mampu memenuhi kebutuhannya
secara mandiri? realitas ini adalah bukti yang paling shahih bahwa pemerintah
telah gagal membenahi kehidupan rakyatnya sehingga di hari meugang saja mereka
tidak mampu memenuhi kebutuhan untuk menyelamatkan harga dirinya sebagai lelaki
dan kepala rumahtangga di Aceh. Bukankah ketika ada pejabat yang memberikan
peket meugang dengan dipublikasi kemedia dengan mempertontonkan suasana yang
“sangat” memalukan tersebut malah akan memperlihatkan dan menelanjangi harga
diri lelaki Aceh untuk memenuhi kebutuhan keluarga di hari meugang? Jika itu
memang bentuh perhatian maka bukankah ada cara lain yang lebih terhormat dan
bisa menyelamatkan semua? Pejabat bisa senang dan bahagia bisa mensejahterakan
rakyatnya dan rakyat juga bisa sejahtera bisa mendapatkan perhatian dari
pejabat yang telah dipilihnya dengan tidak mengorbankan dan melecehkan harga
dirinya.
Whell..
Kalau sudah seperti ini,
satu pertanyaan yang harus dijawab, Paket meugang adakah sebagai bentuk
penghargaan? ataukah Pelecehan?