Aceh, PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk, sejak Jumat
(6/2) resmi melayani rute penerbangan baru, Kuala Namu-Sabang-Kuala Namu.
Penerbangan ini diharapkan mendongkrak jumlah wisatawan ke pulau paling barat
Indonesia itu.
Namun Nur Djuli
salah satu mantan juru runding yang mewakili GAM di
Helsinki mempunyai pendapat yang berbeda, menurutnya Penerbangan direk oleh Garuda dari bandara
Kuala Namu ke Sabang memberiukan dampak negative untuk Aceh, "Penerbangan
direk oleh Garuda dari bandara Kuala Namu ke Sabang adalah perkembangan positif
untuk tourisme di Sabang. Tetapi dampak negatifnya untuk Aceh secara
keseluruhan adalah turis asing yang mau ke Sabang akan mengambil VOA di Kuala
Namu. Sebagian besar turis asing yang mendarat di SIM sekarang adalah untuk ke
Sabang. Ini akan berkurang drastis, dan Medan akan kembali menjadi gateway Aceh
dari dan ke luar negeri. Ketika nanti kutipan voa di SIM menjadi sangat kecil,
fasilitas itu akan ditutup, dan Aceh hanya akan menerima turis dari Malaysia
saja, yang tidak memerluka visa. Ketika Mas (Firefly) dan Air Asia membuka
jalur ke luar negeri bagi Aceh dan menjadikan SIM internasional, mengapa sampai
sekarang Garuda tidak mau?" demikian tulis Nur Djuli dalam sebuah
status FB nya.
Dia juga
melanjutkan “Visa indonesia berlaku untuk
seluruh Indonesia. Orang asing biasanya mengambil visa di negaranya sendiri,
spt kalau kita mau ke New York, kita ambil visa di Kedutaan AS si Jakarta,
tetapi untuk menggalakkan turis datang, diberi fasilitas VOA. Imigrasi bahkan
menempatkan pegawainya dalam penerbangan Garuda ke luar negeri dan mencap
paspor penumpang dalam kapal terbang, supaya ketika mereka turun di Cengkareng
atau Bali, tidak perlu antri di Imigrasi, terus keluar. Bandara SIM
memperjuangkan VOA bertahun2 walaupun sudah dijanjikan oleh SBY pada Gub
Irwandi, ada saja alasan menunda, tidak ada komputer lah, ruangan belum siap
lah. Nah ada aturan yang menentukan bahwa kutipan Voa harus mencapai jumlah
tertentu untuk justifikasi fasilitas tsb. Pemerintah kan tidak mau rugi”. So
disadari atau tidak pemerintah Aceh dan juga Rakyat Aceh secara keseluruhan
akan mengalami kerugian dibalik kesepakan dengan Garuda tersebut.
Nur Djuli juga mengatakan bahwa
sebenarnya Aceh punya “kans” untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar jika
hal ini tidak terjadi bahkan dalam perundingan di Helsinki Aceh telah
memperjuangkan masalah pengelolaan Bandar Udara dan pelabuhan laut, “masalah
Itulah sebabnya dalam MoU kita menentukan hak membangun dan mengelola pelabuhan
udara dan laut adalah otoritas Aceh. Tetapi ketika pemerintah aceh sensiri
(eksekutif dan legislatif) mensakralkan UUPA dan terus menuntut
"turunannya" maka bapaknya yang haram (hasil selingkuh) jadj halal,
setelah nikah paksa” demikian pungkas Nur Djuli.
Sungguh disayangkan, Aceh
akan semakin jauh ketinggalan dari Medan, pemerintah Aceh sepertinya kurang
jeli dalam melihat hal tersebut, lebih tragis lagi pihak yang berwenang di Aceh
sama sekali tidak membuka ruang untuk menerima masuka-masukan dari Rakyat Aceh.
Duh...tertipu lagi...
Atra Gob Han, Atra droe Pih Tan.
Artikel Terkait: