PILKADA 2017: PENGHORMATAN ATAU JEBAKAN UNTUK SANG PANGLIMA?
Pilkada adalah momentum di mana seseorang dipilih atau memilih untuk menentukan siapa yang akan menduduki jabatan tertinggi di jajaran eksekutif dalam sebuah pemerintahan yang menganut sistem demokrasi.
Seringkali orang merasa terhormat ketika didorong, didukung dan terpilih sebagai pemenang dalam kontestasi politik tersebut, pun demikian sejatinja tidak semua orang didukung, didorong dan dipilih untuk dimenangkan karena didasarkan atas penghargaan atau penghormatan.
Ada juga seseorang atau orang kuat tertentu yang didorong, dipilih dan dimenangkan dengan tujuan justru untuk menghancurkan dan membinasakan. Misalnya seorang panglima perang atau ketua partai yang tidak mungkin digusur dari posisi "terkuatnja" kecuali dengan di dorong untuk maju dalam sebuah kontestasi politik seraya terus mengumpulkan kelemahan dan kesalahannja yang ketika saatnja tiba akan dibongkar dan digulingkan dengan harapan si pendorong, sipendukung dan orang-orang disekelilingnja bisa kecipratan kekuasaan dan untung besar di saat sang "target" berhasil digulingkan.
Dengan gambaran yang sangat mengerikan misalnja dapat dinarasikan "Tiba-tiba seorang Gubernur Aceh meledakkan diri di pendopo dan para musuhnyapun menggelar tenda-tenda mewah nan meugah untuk merayakan kematiannya, yang diiringi dengan ribuan papan bunga ucapan ikut bersuka cita atas kematian yang bermakna kemenangan tanpa perlu melepaskan satupun peluru apa lagi ratusan batalion tempur”.
Apakah ini sebuah kenyataan yang sesungguhnya?
Tentu tidak! Tapi tindakan yang lebih konyol dari itu meski dalam lakon yang lebih ramah nan damai bisa saja terjadi di Aceh jika rakyat Aceh salah menentukan pilihan di pilkada 2017 mendatang.
Diakui atau tidak pilkada 2017 merupakan “perang” yang tidak ingin dilewatkan oleh siapapun untuk dimenangkan, tidak ada satu kubu politikpun yang bekerja keras hanya untuk sebuah kekalahan, apa lagi kekalahan yang diusahakan sendiri, itu semua di alam sadar.
Namun jika salah perhitungan bukan tidak mungkin akan ada kubu politik tertentu justru sedang merancang dan berupaya keras dengan segenap pengorbanan untuk menghancurkan dan mengalahkan diri sendiri.
Kita tentu belum lupa dengan sejarah panjang perang bersenjata di Aceh yang "Alhamdulillah?" berakhir damai sekitar dua belas tahun lalu, lewat sebuah kesepahaman untuk menormalkan kembali kondisi Aceh seperti saat sebelum genderang perang senjata di tabuhkan.
Sejatinja pilihan (konsensus) ini bukan berarti semua pihak bisa dipastikan puas atau bahkan menganggapnya benar-benar berakhir, namun pasti ada yang beranggapan bahwa ini hanya pergantian arena saja, kalau dulu perang senjata, sekarang perang suara lewat jalur demokrasi.
LAWAN HARUS DITAKLUKKAN DENGAN CARA APAPUN!
Di penjuru dunia manapun, dalam konteks pertarungan apapun, pada prinsipnya lawan tetap harus ditaklukkan dengan cara sadis maupun sopan, dengan kasar maupun dengan penuh kelembutan.
Mengasihi lawan adalah bunuh diri, namun demikian, sesuai dengan prinsip di atas lawan tetap harus ditaklukkan dan ditundukkan atau bahkan dihabisi jika perlu.
Bagi petarung profesional, menaklukkan lawan tidak selalunya dengan menghabisi jasadnya secara sadis bin kejam, menundukkan lawan sesuai dengan kelasnya, hanya musuh tertentu dengan kelas tertentu yang perlu dihabisi.
Terkadang ada lawan yang hanya perlu didiamkan baik dengan “kasih sayang?” maupun dengan sedikit ancaman, semua itu tergantung dari kualitas lawan dan konsekwensi yang harus dihadapi ketika ia ditaklukkan.
Musuh A misalnya, yang begitu sulit ditaklukkan dengan cara kasar, meskipun dengan mengerahkan perangkat perang sekalipun yang menghabiskan jutaan dolar, namun tetap tidak bisa ditaklukkan, karena ia memiliki loyalis yang super loyal, kesetiaan pasukan yang super setia dengan segala kesederhanaan dan keterbatasannya namun ia tetap begitu tangguh untuk ditaklukkan.
Lantas apakah ia tetap dibiarkan jadi lawan yang terus menebar ancaman? Tidak! Lawan tetap harus ditundukkan dan ditaklukkan.
Opsi lain harus dicari, cara lain harus dijalankan, ia tetap harus ditaklukkan, bisa saja ditaklukkan dengan “mudah” menggunakan siasat (politik) yang penuh kelembutan bernuansa kasih sayang dalam bentuk godaan uang dan materi serba mewah.
Beri ia kekuasaan (terbatas dan terkendali), pancing ia melakukan kesalahan, dengan jenis kesalahan apapun itu, korupsi misalnya, pembunuhan contoh lainnya, yang pada akhirnya ia dimusuhi oleh para loyalisnya dan bisa didikte dan dikendalikan yang pada akhirnya bisa dilucuti dengan mudah.
Sedikit mengancam atau melawan maka tinggal “bongkar” kesalahannya, giring dia ke meja hukum, pasung ia di penjara atau bahkan biarkan ia dihabisi oleh temannya sendiri.
Jika konsep kedua ia yang dipilih sebagai opsi maka, semakin dekat “KING” lawan dengan puncak “kekuasaan” itu semakin bagus dan semakin dekat dengan “lonceng kematian”. Pada akhirnya lawan akan menjadi laksana keledai bomber yang dipasang bom dan siap diledakkan kapan saja yang ia suka.
Ingat “Petarung profesional, akan melucuti lawan dengan cara professional, hanya petarung amatir yang mempertaruhkan nyawa untuk secangkir kopi pagi gratis. Nah dikala seperti ini maka jabatan adalah sebuah jebakan semata dan sama sekali bukan penghormatan, Mari kita selamatkan Panglima!
Aceh Waraslah...