“Ultra Pragmatis berasal dari kata
ultra dan
pragmatis, Ultra merupakan sinonim dari kata
super atau sangat, sementara pragmatisme adalah aliran
filsafat yang
mengajarkan bahwa yang benar adalah segala sesuatu yang membuktikan dirinya
sebagai yang benar dengan melihat kepada akibat-akibat atau hasilnya yang
bermanfaat secara praktis. Dengan demikian, bukan kebenaran objektif
(ideal) yang penting, melainkan bagaimana kegunaan praktis kepada
individu-individu, dengan kata lain yang paling ideal menurut pemahaman ini
adalah yang paling menguntungkan dan yang paling cepat memberikan hasil alias
pragtis.
Dalam konteks politik paham ultra pragmatis bisa diartikan dengan
sebuah cara pandang yang menganggap bahwa setiap peluang harus dimanfaatkan
dengan cara apapun untuk dikonversi menjadi sebermanfaat mungkin termasuk
dengan cara yang illegal atau tidak etis sekalipun. Bagi mereka cara terserah,
baik benar atau salah sekalipun tidak lebih penting dibandingkan hasil yang
mereka targetkan, jiwa pragmatis tersebut tidak hanya terwujud dalam pribadi-pribadi yang taat-taat saja pada boss atau orang yang sedang dia harapkan untuk dapat memberikan keuntungan bagi dia, tapi juga bisa menjelma menjadi pribadi-pribadi yang super kritis, namun kekritisannya cuma sebatas untuk memperkuat posisi tawarnya, demi memperbesar peluang dia untuk mengeruk keuntungan semata, sama sekali bukan bentuk kritik untuk memperbaiki keadaan.
Dengan bahasa yang sangat kasar paham ultra pragmatis itu bisa
digambarkan dengan kata “yang
penting guwe untung, elo terserah”, realitas yang dapat menggambarkan
pemahaman seperti itu bisa kita dapatkan dengan sangat gampang dalam kehidupan
kita.
Ketika figur oportunis menjadi musuh dalam selimut.
Dalam sebuah organisasi tidak jarang ada figur-figur yang sama
sekali tidak idealis atau bahkan bisa jadi sangat oportunis. Dalam wikepedia
disebutkan bahwa
Oportunisme adalah suatu aliran pemikiran yang menghendaki pemakaian
kesempatan menguntungkan
dengan sebaik-baiknya, demi diri sendiri,
kelompok atau suatu
tujuan tertentu.
Jadi yang dimaksud dengan figur oportunis adalah sosok yang hanya
memikirkan keuntungan yang dia dapat semata, dia tidak peduli dengan proses,
karena yang paling penting adalah manfaat yang bisa ia dapatkan, sekecil apapun
peluang yang ada harus dimanfaatkan agar dapat memberikan manfaat
sebesar-besarnya bagi dirinya, meskipun merugikan yang lain secara sopan atau
kasar dalam skala kecil atau besar sekalipun.
Sosok oportunis seperti ini biasanya bukanlan orang bodoh, tetapi
mereka orang-orang yang pintar bin cerdas plus licik bin culas yang dapat memanfaatkan sekecil
apapun peluang yang mereka dapat, mereka biasanya bukan sosok yang mau bekerja
keras atau bersusah payah untuk menciptakan peluang melainkan sosok yang hanya
“mau” memanfaatkan peluang yang tersedia atau bahkan “merebut” peluang yang
orang usahakan.
Misalkan dia ingin berkarier di dunia politik, kemudian dia
dihadapkan pada dua pilihan apakah dia harus bergabung dengan Partai A atau
Partai B, maka yang mejadi pertimbangan dia dalam memilih partai adalah aspek
peluang yang akan dia raih jika bergabung dengan salah satu partai tersebut,
jika partai A menjanjikan peluang yang lebih besar untuk mengantarkan dia
“meraih” target pribadi semisal menjadi Anggota Dewan atau Bupati, Gubernur
atau Presiden maka dia akan memilih partai A, meskipun partai terkait tidak
memiliki visi yang sama dengan dia, atau bahkan partai terkait bisa jadi memang
memiliki visi yang sama sekali bertolak belakang dengan visi dia sekalipun,
yang penting bagi dia adalah bisa memberikan keuntungan sebesar-besarnya kepada
dia.
Sosok oportunis seperti ini biasanya tidak pernah sungkan-sungkan
“menjelekkan” orang lain yang dia anggap saingan, meskipun orang yang
sebelumnya sudah duluan berada di partai yang akan dia pilih untuk dijadikan
kenderaan politiknya, selama hal itu bisa mengangkat nama dia untuk secepatkan
mendapatkan peluang yang dia inginkan. Lebih tragis lagi sosok oportunis
seperti ini tidak pernah memikirkan “dampak” negatif dari tindakan “busuk’ dia
yang akan merugikan partai tempat dia bernaung, karena bagi dia “target”
pribadi jauh lebih penting dibandingkan target partai “yang bisa jadi” tidak
dia perhitungkan sama sekali.
Salah satu damapak negative keberadaan sosok oportunis seperti ini
misalkan akan menimbulkan perpecahan di tubuh partai yang dia tumpangi atau
bahkan akan ada sosok yang sebenarnya lebih berjasa kepada partai yang akan
terlempar keluar, akibat “manuver busuk” yang dia mainkan, yang
sejatinya sangat merugikan bagi partai yang “ditumpangi” oleh sosok oportunis
tersebut. Dia pada dasarnya tidak lebih dari seorang penjilat yang akan
melakukan apa saja atas nama kepentingan dia sendiri.
Sanjungan dan dukungan atau bahkan kritikan yang dia berikan sangat tergantung pada
kepentingan dan keuntungan yang dia dapatkan. Sosok oportunis seperti itu
biasanya juga tidak pernah sungkan untuk menyanjung orang atau sosok atau
kelompok yang menurut dia akan memberikan keuntungan kepada dia. Misalkan dia
sebelumnya masuk ke partai A dan kemudian dia mengambil keuntungan dari partai
A tersebut, kemudian setelah dia merasa cukup atau bisa juga dia merasa peluang
dia di Partai A telah mengecil atau tertutup sama sekali, maka tidak mustahil
dia akan “loncat” ke partai B dan akan menyanjung partai B setinggi langit
serta akan merendahkan dan terus merong-rong Partai A, bahkan sampai partai A
hancur sekalipun karena bagi dia itu hanya masalah kepentingan, selama dia
diuntungkan maka partai itu harus dia sanjung begitu juga sebaliknya ketika dia
tidak diuntungkan lagi maka menghujat dan merendahkan pertai A yang sebelumnya
dia tumpangi bukanlah persoalan tabu.
Lebih tegas lagi bisa dikatakan bahwa bagi sosok yang oportunis
itu persoalan menyanjung orang yang pernah dia benci lebih tinggi dari realitas
yang sebenarnya ada, atau sebaliknya menghujat dan membusukkan orang
yang sebelumnya dia sanjung lebih buruk dan lebih rendah dari posisi yang
sebenarnya orang tersebut tempati bukanlah masalah. Yang paling penting adalah
dia diuntungkan, karena dia punya prinsip “yang penting guwe untung, elo
terserah”.
Untuk menemukan sosok seperti yang tergambarkan di atas dalam
perpolitikan di Aceh bahkan Indonesia tidaklah sulit dan kemungkinan besar
sosok oportunis tersebut ada di setiap oraganisasi politik.
Misalkan ada politikus yang sebelumnya sangat anti dengan gerakan
tertentu kemudian tiba-tiba menyelinap ke dalam kelompok tersebut dan menjadi
“pemain utama” ketika pertai atau kelompok tersebut meraih kesuksesan.
Ada juga sosok tertentu hanya memanfaatkan popularitas partai
tertentu untuk “numpang” agar dia bisa menjadi anggota dewan atau senator
dengan mudah, hanya bermodalkan Jilatan-jilatan lebai yang berhasil melenakan
kelompok yang dia mamfaatkan untuk dapat meberikan dukungan kepada dia, namun
setelah itu dia menikmati kesuksesan itu tanpa pernah peduli lagi dengan partai
yang telah mengantarkan dia ke posisi di mana dia inginkan tersebut.
Dalam kasus lain ada sosok Politikus oportunis yang sebelumnya
terlihat begitu mesra dengan elit partai atau pejabat dari partai tertentu
namun ketika terjadi riak di tengah partai tersebut yang sangat bisa jadi “dia
memang” menginginkan perpecahan tersebut untuk secepatnya dapat menguasai
posisi strategis yang dia inginkan, dengan ikut memanaskan situasi dengan
menyerang salah satu pihak yang menurut dia “lemah” karena mustahil dia akan
membela yang lemah, ini dikarenakan jika dia membela yang menurut dia “lemah”
maka dia akan ikut terpinggirkan.
Akhirnya kita berharap agar sosok oportunis seperti ini tidak ada
di sekitar kita, atau kalau ada kita harus secepatnya menyadari hal tersebut
agar kita semua tidak dirugikan oleh “penghisap darah” seperti itu.
Semoga saja bagi partai atau organisasi tertentu yang merasa ada sosok-sosok
yang cenderung oportunis seperti yang tergambarkan di atas agar dapat
diwaspadai demi kebaikan dan keselamatan partai atau organisasi terkait dari
pembusukan yang bisa saja terjadi ketika sosok tersebut merasa tidak lagi
membutuhkan keuntungan dari partai atau oraganisasi yang dia tumpangi.
Yang Penting Guwe Untung, Elo? Terserah…
Waspadalah…