PARTAI LOKAL SEMANGAT ATAU PENJAKIT BARU
DEMOKRASI DI ACEH?
Kok ketika pesta demokrasi di Aceh sering
terjadi perang fisik?
Saya bilang ini salah Sir Alex (King Maker)
kenapa? Karena Mereka sejatinja
mantan pemain bissball yang terbiasa dengan aturan dan regulasi bisball
tiba-tiba direkrut oleh Sir alex untuk dipinjamkan ke Liverpool yang
notabenenja sebuah klub bola sepak, tiba-tiba pemain liverpool gag (belom
sepenuhnja) ngerti aturan main di lapangan bola sepak, tangkap nangkap dan
hantam-hantaman lah mereka untuk merebut kemenangan dari TIM lawan!
Butuh, Waktu, Kesabaran, Kedewasaan, Serta
kerja keras untuk sebuah permainan dengan kualitas dan hasil yang sempurna!
Setelah lahirnja Partai Lokal
demokrasi di Aceh sudah berkembang!
Secara umum demokrasi di aceh sudah mengalami
pertumbuhan yang cukup pesat dibandingkan era sebelum lahirnja Partai Lokal atau tepatnja bisa dikatakan pasca MoU
antara GAM dan RI pertumbuhan demokrasi di Aceh berkembang pesat bila di tilik
dari keterlibatan/partisipasi rakyat dalam mengikuti tahap demi tahap dalam
proses demokrasi itu sendiri, instrument paling simple misalkan kita bisa
melihat dari partisipasi pemilih dalam setiap momentum demokrasi, lebih dari
itu secara lebih jelas kita juga bisa melihat bagaimana pertumbuhan “kesadaran”
rakyat Aceh untuk berpartisipasi secara aktif dalam kontestasi politik itu
bukan lagi sekedar memilih atau mencoblos, tapi rakyat Aceh sudah
berpartisipasi aktif sejak dari tahapan awal pencalonan baik anggota parlement
maupun calon kepala daerah, ini semua tidak terlepas dari lahirnja Partai Lokal yang di isi oleh orang-orang
yang sangat dekat dengan rakyat. Rakyat Aceh yang sebelumnja terlihat hanja
menunggu tanggal pencoblosan untuk memilih, pasca MoU dan lahirnja Partai Lokal rakyat Aceh sudah mulai sibuk
jauh-jauh hari sebelum pencoblosan, rakyat Aceh mulai terlibat dari proses
perekrutan caleg dengan melemparkan berbagai wacana, kritikan bahkan
kecaman jika mereka merasa caleg atau kandidat yang di ajukan partai terutama Partai Lokal memiliki kekurangan atau setidaknja
jika tidak sesuai dengan keinginan mereka.
Di sisi lain kita bisa melihat di mana
sebelum lahirnja Partai Lokal rakyat Aceh masih sangat pasif dan
taat untuk mejadi pemilih yang “bijak” plus lugu untuk tidak pernah mengkritisi
apa lagi mengecam meskipun ada kandidat yang di ajukan partai politik yang ada.
Rakyat Aceh hanja memiliki dua pilihan memilih apa adanja (sesuai stok yang
disediakan partai nasional) atau tidak memilih sama sekali, suara kritis mereka
tak pernah terdengar. Pengurus partai nasional atau orang-orang yang terlibat
dan punja link ke partai terlihat sebagai sosok yang begitu elitis yang sangat
“tinggi dan superior” untuk di usik oleh rakyat, sementara pasca lahirnja Partai Lokal rakyat Aceh sudah lebih dekat dan
mungkin untuk mempunjai pilihan yang sesuai dengan keinginan mereka, pengurus
atau bahkan ketua Partai Lokal bukan lagi merupakan sosok yang se
elit sebelumnja, bahkan rakyat Aceh telah berani untuk mengkritisi secara
langsung atau bahkan dengan cara yang “lebih keras” sekalipun, rakyat telah
berani untuk “mengatur” orang yang akan mengatur mereka kelak.
Bukankah dari sisi ini perkembangan demokrasi
di Aceh telah berjalan sangat menggembirakan setelah lahirnja Partai Lokal?
Kenapa begitu?
Secara teoritis “Demokrasi adalah sistem
pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat” (Abraham Lincoln), jadi di lihat dalam
konteks perkembangan demokrasi di Aceh hari ini terutama dari keterlibatan
rakyat dalam memilih atau dari unsur “dari
rakyat” dan “oleh rakyat” maka indeks pertumbuhan demokrasi di
Aceh bisa dikatakan sangat positif dan menggembirakan setelah lahirnja Partai Lokal. (terlepas dari
keurangannja)
Namun demikian bagus atau tidaknja sebuah
sistem Demokrasi tidak hanja ditinjau dari satu sisi tapi juga harus diukur
dengan instrument lainnja sesuai dengan standar IPD (Indeks Pertumbuhan
Demokrasi) itu sendiri yaitu keterlibatan
publik, kebebasan berpendapat (kebebasan pers) dan kebebasan lembaga politik. Jika ketiga aspek ini terpenuhi maka
baru bisa dikatakan sebuah system demokrasi yang berjalan itu sudah sangat
demokratis.
Sejujurnja dari sisi yang berbeda bila
dilihat secara lebih seksama demokrasi di Aceh setelah lahirnja Partai Lokal di Aceh masih dapat dikatakan
demokrasi yang sakit, ini tidak terlepas dari penjakit social yang masing
menghinggapi rakyat Aceh, termasuk elit Partai
Lokal, sebagaimana yang
dikatakan Mahatma Gandhi seorang negarawan India (1925) menyebutkan bahwa
setidaknya ada ”seven social
sins” atau tujuh penyakit sosial
yang senantiasa menghatui rakyat di setiap Negara yaitu meliputi: berpolitik tanpa prinsip, ingin sejahtera tanpa kerja, ingin bersenang-senang tanpa hati
nurani, berpengetahuan tanpa watak, perniagaan tanpa moralitas, ilmu
pengetahuan tanpa kemanusiaan dan ibadah tanpa pengorbanan ditambah satu lagi
yang sedang mewabah adalah keinginan dan keberanian
tanpa perasaan.
Betapa kita melihat bahwa realitas
menunjukkan bahwa penyakit di atas masih sangat mudah ditemukan di
tengah-tengah kehidupan rakyat Aceh. Yang sering terjadi di Aceh misalnja
pelaku politik terutama kader Partai
Lokal yang berpolitik tanpa prinsip, prinsip kebebasan dan saling
menghargai pendapat orang lain tidak tumbuh seperti yang dinginkan, yang
terjadi malah perbedaan pandangan politik malah melahirkan permusuhan yang
“tidak jarang” berujung pada kekerasan. Di sisi lain kita juga sangat sering
menemukan politik dijadikan sebagai sarana untuk mewujudkan keinginan sejahtera tanpa kerja (ini sama saja baik politikus dari
partai lokal maupun partai nasional) di
mana kebanjakan para elit parpol atau bahkan orang-orang yang berpengaruh
memanfaatkan jabatan politik untuk memperkaya diri, misalnya ada toke-toke
(sponsor) yang membiayai caleg atau kandidat untuk merebut jabatan politik
untuk dijadikan ATM berjalan atau mesin uang baik secara langsung maupun tidak
atau bahkan ada oknum pelaku politik yang ingin menjadi anggota dewan hanya
untuk mendapatkan keuntungan materil bukan untuk memperjuangkan aspirasi rakyat
(konstituen) yang telah memilihnja.
Penyakit lainnya yaitu ingin bersenang-senang tanpa hati
nurani, betapa banjak kita lihat
dalam kenjataan bahwa ada pejabat public yang merumuskan kebijakan yang hanja
memikirkan keuntungan pribadi dan kelompoknja tanpa harus memperdulikan nasib
orang lain, menghalalkan segala cara untuk merebut sebuah jabatan yang
diinginkannnja termasuk dengan mendhalimi atau bahkan mengancam keselamatan
orang lain sehingga keinginan dan keberanian
tanpa perasaan tersebut
menjadikan panggung demokrasi menjadi “seram” dan kasar layaknja panggung
pembantaian.
Setidaknya itulah sebagian kecil plus minus
demokrasi di Aceh setelah lahirnja
Partai
Lokal, terlepas dari itu realitas persoalan di atas merupakan kendala
terbesar dan penyakit paling kronis yang telah dan masih saja menghinggapi
pemikiran dan perasaan pelaku politik di Aceh hari ini, sebagai daerah bekas
konflik yang rakyatnja masih sangat akrab dan terbiasa dengan kekerasan maka
kondisi tersebut bukanlah sebuah kondisi yang harus diherankan, karena butuh
waktu untuk memperbaiki watak rakyat untuk menjadi lebih sopan dan jauh dari
kekerasan, itu bukalah pekerjaan mudah.
Butuh, Waktu, Kesabaran, Kedewasaan, Serta
kerja keras untuk sebuah hasil yang sempurna!
Namun terus bersembunji di balik tameng “transisi” bukanlah sebuah pilihan yang bijak,
tapi kita Aceh harus terus bergerak untuk menjadi lebih sopan dan maju kearah
yang lebih maju dan bermartabat, jauh dari penindasan, kekerasan dan
kedhaliman. Usaha untuk membangun kesadaran ke arah tersebut terutama harus
digerakkan oleh Master Mind (King Maker) yang selama ini telah dengan begitu
“mahir” memainkan perannja untuk mengatur “intonasi dan nada” perpolitikan di
Aceh.
Jika persoalan tersebut bisa diselesaikan maka (di bawah NKRI) Insya Allah perolitikan dan Demokrasi di Aceh akan menjadi yang terbaik di Indonesia atau bahkan dunia.
Kita harus sadar Lawan bukanlah Musuh!
Kata Mario Tegas “Rivalitas dan Persaudaraan itu
harus tetap dijaga dan dilestarikan serta ditempatkan secara proporsional, agar
tujuan "masing-masing" dapat diwujudkan tanpa harus mengorbankan
kepentingan "bersama" yang jauh lebih besar dan lebih pantas untuk
diperjuangkan! Perdebatan itu penting hanya dan demi untuk
mendapatkan sebuah pemahaman yang akan memberikan tuntunan untuk dapat
mewujudkan Masa depan yang lebih baik”
Aceh milik kita semua, semoga Aceh esok bisa
lebih baik dari hari ini!