REKONSILIASI POLITIK ACEH
PA & PNA BERSATU
(IRWANDI DAN MUZAKKIR AKAN MERDEKAKAN RAKYAT
ACEH)
Wacana
rekonsiliasi dalam kontek kehidupan kenegaraan seringkali diidentikkan dengan
sebuah dinamika politik, dalam konteks yang lebih luas rekonsiliasi tidak hanya
berlaku dalam kontek dinamika politik saja tetapi lebih meyeluruh memesuki
segala dimensi kehidupan sosial mulai dari rekonsiliasi antara sebuah keluarga
yang bertikai sampai pada wilayah muamalah. Dalam tulisan ini rekonsiliasi
lebih terfokus pada pembahasan tentang dinamika kehidupan politik, di mana kita
akan menyorot kemungkinan rekonsiliasi politik antara dua kubu kekuatan politik
local yang berasal dari wadah yang sama yaitu dua kubu mantan Kombatan GAM yang
sekarang mengkristal dalam dua partai politik local di Aceh yaitu Partai Aceh
(PA) dan Partai Nasional Aceh (PNA) yang selama ini berseteru.
Memang untuk sebuah langkah politik yang diambil tidak pernah terlepas dari pro dan kontra ada yang mendukung begitu juga
sebaliknya akan ada yang menentang, tetapi jika semua mau berfikir untuk
kemashlahatan bersama yang dilandasi pada pemikiran bahwa kedua kubu kekuatan
politik local di Aceh tersebut sama-sama berjuang untuk mensejahterakan rakyat
Aceh, maka rekonsiliasi atau setidaknya penghentian permusuhan adalah sebuah keniscayaan. mengapa demikian? karena konflik hanya akan menambah penderitaan rakyat yang belum sepenuhnya sembuh dari penderitaan yang diakibatkan oleh perang TNI dan TNA yang sebelumnya berkecamuk dan Alhamdulillah telah berakhir dengan damai. Jika dengan fihak Jakarta kita bisa berdamai meski tetap berseberangan dalam persoalan politik, lantas mengapa dengan saudara sendiri tidak???
Dalam rangka
mewujudkan rekonsiliasi tersebut tentunya dibutuhkan inisiatif (itikad) baik
dari masing-masing kubu karena jika tidak ada yang menginisiasi maka mustahil
bisa terwujud yang namanya rekonsiliasi tersebut, dalam konteks Aceh hari ini
rekonsiliasi akan terwujud bila ada fihak yang mau “memulai” langkah menuju
ke arah sana, baik dari PA maupun dari PNA.
Dalam sebuah
kesempatan Irwandi Yusuf yang merupakan salah satu tokoh sentral yang
menggawangi PNA telah memperlihatkan indikasi untuk kembali merajut
rekonsiliasi dengan saudaranya yang berada di kubu PA, untuk berbaik sangka
kita (anggap saja) ini sebagai langkah politik Irwandi untuk menyatukan
kembali kekuatan politik local (khusunya mantan kombatan GAM) yang sempat
berseberangan, untuk sama-sama bergandengan tangan memakmurkan rakyat Aceh.
“Saudara-saudari,
pilkada tahun 2012 penuh dengan intrik, intimidasi dan teror termasuk jatuh
korban beberapa nyawa manusia. Hal ini semua terjadi karena pertarungan sengit
antara 2 kubu mantan kombatan. Sebenarnya hal tersebut tidak perlu terjadi jika
demokrasi berjalan dengan benar di negara kita. Mari kita lupakan pilkada 2012
dan saling memaafkan untuk menyongsong masa depan Aceh yang lebih baik.
Sekarang kita sedang menuju pilkada 2017/2018. Nasib kesejahteraan rakyat Aceh kembali
dipertaruhkan. Agar rakyat aman tenteram dan dapat mengejar kembali sejahtera
yang tertunda, maka saya mohon masukan dari saudara-saudari:
Andai saya (Irwandi Yusuf) berpasangan dengan saudara Muzakir
Manaf”
Demikianlah lebih kurang tulis Irwandi Yusuf dalam sebuah status
Facebook nya, sepintas tulisan itu adalah tulisan ringan, tapi jika mau
dicermati secara lebih seksama dan lebih serius, kita dapat mengambil beberapa
hal yang mungkin sangat penting dan sangat pantas untuk kita fikirkan bersama.
Mengapa demikian?
Pertama, yang mengeluarkan pernyataan seperti itu
adalah seorang Irwandi Yusuf yang tidak lain merupakan sosok yang pernah
menjadi orang nomor satu di Aceh, dia salah satu politikus papan atas di Aceh
yang bisa dikatakan paling potensial dan sangat pantas untuk diperhitungkan
untuk kembali mengisi posisi Aceh 1 alias gubernur, hal ini tidak terlepas dari
kapasitas dan pengalaman Irwandi Yusuf yang sudah pernah terbukti mampu berbuat
untuk Aceh (setidaknya dari sudut pandang saya).
Kedua, Pernyataan tersebut kembali
mengingatkan kita bahwa pilkada Aceh 2012 yang berlangsung dengan penuh
intrik, intimidasi dan teror termasuk jatuh korban beberapa nyawa manusia. Hal
ini semua terjadi karena pertarungan sengit antara dua kubu mantan kombatan.
Dalam konteks ini Irwandi Yusuf mewakili salah satu pihak yang terlibat
perseteruan tersebut yang sekarang mengkristal dalam wadah Partai Nasional Aceh,
sementara di sisi lain Muzakkir Manaf merupakan representasi dari pihak yang
berseberangan dengan kubu Irwandi saat itu yang bernaung di bawah wadah Partai
Aceh yang akhirnya memenangkan “perseteruan dua saudara” tersebut dan sekarang
masih memegang kendali Pemerintahan Aceh.
Ketiga, dalam pernyataan tersebut Irwandi
menuliskan “Mari kita lupakan pilkada 2012 dan saling memaafkan untuk
menyongsong masa depan Aceh yang lebih baik”. Sejatinya ini merupakan
pernyataan yang luar biasa yang hanya bisa keluar dari orang-orang hebat yang
berjiwa negarawan, kenapa demikian? Karena “sebagai pihak yang kalah” butuh
jiwa besar untuk memaafkan dan membuka kembali “pintu” rekonsiliasi yang
terlihat pernah tertutup begitu rapat. Luar biasa itulah kata-kata yang layak
untuk mengapresiasikan pernyataan tersebut. selain itu dalam kalimat di atas juga bisa difahami bahwa rekonsiliasi sangat penting untuk mensejahterakan rakyat Aceh, setidaknya menyelamatkan rakyat Aceh dari pertikaian dengan saudara sendiri yang sangat menyengsarakan dan merugikan Aceh secara keseluruhan.
Di sisi lain kedua kubu yang sempat berseteru tersebut sejatinyasama-sama punya kans untuk maju secara terpisah, misalnya Irwandi Yusuf bisa
saja menggandeng partai politik lain semisal NasDem dan beberapa partai lainnya
untuk maju tanpa harus berkoalisi dengan Partai Aceh dalam hal ini kubu Muzakkir
Manaf, begitu juga sebaliknya pihak Muzakkir Manaf dengan kekuatan PA sebagai
partai dengan jumlah kursi terbesar di DPR Aceh sekarang ini bisa saja tetap
maju terpisah tanpa harus berkoalisi dengan saudara mudanya PNA. Namun, jika
kedua kubu “nekad” untuk tetap maju secara terpisah maka “tragedi buruk 2012” dikhawatirkan
akan kembali terulang atau bahkan jauh lebih buruk yang pada akhirnya akan
memperpanjang penderitaan rakyat Aceh dan akan semakin memperlemah “nilai
tawar” Aceh di mata Indonesia, mengapa? Karena dua kubu kekuatan politik local
di Aceh tetap bertahan dengan Ego masing-masing dan dalam hal ini bukan tidak
mungkin Indonesia malah akan berharap demikian adanya sehingga mereka bisa
mencuri kesempatan untuk kembali mengambil alih kendali politik di Aceh,
sungguh tragis bukan?
Atas dasar itulah saya berharap kali ini kedua kubu PA dan PNA
bisa “menguburkan” ego masing-masing demi menyelamatkan Aceh dan juga
menyelamatkan perjuangan panjang yang pernah dilakukan dengan begitu
melelahkan, dengan korban jiwa, harta dan tentunya waktu juga sehingga Aceh
menjadi tertinggal seperti hari ini. Cukup sudah saudaraku, begitulah kira-kira
pesan yang harus kita sampaikan kepada kedua fihak.
Mari kita “menyongsong masa depan Aceh yang lebih baik.
Sekarang kita sedang menuju pilkada 2017/2018. Nasib kesejahteraan rakyat Aceh
kembali dipertaruhkan. Agar rakyat aman tenteram dan dapat mengejar kembali
sejahtera yang tertunda” demikian lanjut Irwandi Yusuf, dari kalimat
tersebut tersurat jelas bahwa masih ada harapan jika kedua kubu PA dan PNA
mampu mengalahkan ego masing-masing demi Rakyat Aceh, maka kesejahateraan yang
selama ini ditunggu rakyat Aceh akan kembali bisa atau setidaknya akan lebih
mungkin dan mudah untuk diwujudkan.
Hal ini didasarkan pada beberapa alasan, pertama Jika PA
dan PNA bisa berekonsiliasi kembali maka kekuatan politik Aceh akan kembali
utuh (meskipun beda partai) dan hal ini setidaknya akan membuat Jakarta kembali memperhitungkan Aceh dalam konteks hubungan Aceh jakarta, karena rakyat Aceh telah bersatu kembali, disisi lain jika rekonsiliasi terwujud maka akan lebih bisa untuk
menjamin bahwa pemilu yang akan berlangsung akan dapat berjalan dengan lebih baik,
aman dan nyaman untuk semua, mengingat selama ini kedua kubu tersebut sering
kali terlibat perseteruan sengit yang pada akhirnya akan merusak kenyamanan
rakyat Aceh secara keseluruhan.
Kedua, Jika kedua kubu PA dan PNA
kembali bersatu maka saya bisa mengatakan bahwa kemungkinan memenangkan Pilkada
jauh lebih besar dibandingkan dengan jika kedua kubu terpisah, bahkan bisa
dikatakan jika PA dan PNA bersatu “mustahil” untuk dikalahkan oleh
kekuatan politik manapun.
Ketiga, Jika kedua kubu PA dan PNA bersatu,
maka harapan untuk mewujudkan kemakmuran bagi rakyat Aceh akan semakin mudah,
mengingat pengalaman masing-masing pihak yang sama-sama pernah berjuang
sama-sama dan merasakan sakit sama-sama, serta juga dilengkapi dengan
pengalaman masing-masing dalam memimpin Aceh dalam periode yang berbeda yaitu
Irwandi Yusuf 2006-2011 dan Muzakkir Manaf 2012-2017, kiranya dengan pengalaman
yang begitu lengkap tersebut bisa dikatakan mereka telah sangat memahami
persoalan yang dihadapai rakyat Aceh, selanjutnya tinggal bagaimana kedua fihak PA dan PNA mau duduk
bersama untuk sama-sama memikirkan solusi yang bisa dirumuskan menjadi
program-program unggulan untuk sesegera mungkin bisa memerdekakan rakyat Aceh
dari Jajahan kemiskinan, kebodohan dan berbagai ketertinggalan lainnya.
Diuntungkan dengan keberadaan Irwandi Yusuf
Tekad untuk memakmurkan Rakyat Aceh sangat didukung dengan
Kapasitas Irwandi Yusuf yang bisa dikatakan sudah sangat teruji sebagai gubernur
yang pernah “berhasil” memimpin Aceh berjuang keras keluar dari trauma konflik
dan tsunami di masa kepemimpinannya. Meski tidak maksimal namun kehidupan rakyat
Aceh mulai dan terus membaik, Pemerintah Aceh dalam periode Irwandi Yusuf
tergolong sukses membenahi kehidupan rakyat Aceh, di bawah komando Irwandi-Nazar
pemerintah Aceh berhasil melahirkan beberapa terobosan semisal lahirnya Program
JKA untuk memperbaiki taraf Kesehatan rakyat Aceh, adanya pembangunan rumah
Dhuafa yang mulai menjawab persoalan rakyat Aceh yang tidak memiliki
tempat tinggal yang layak, adanya program Beasiswa untuk pelajar Aceh terutama
beasiswa ke luar negri dan juga beasiswa kusus kepada anak yatim yang umumnya
anak para penjuang, yang menjadi solusi untuk meningkatkan taraf pendidikan
rakyat Aceh. Sehingga tingkat IPM rakyat Aceh mulai membaik.
Dilengkapi dengan pengaruh Muzakkir Manaf
Sepeninggal
Irwandi Yusuf, mulai tahun 2012 Aceh beralih di bawah komando ZIKIR
(Zaini-Muzakkir), meski pertumbuhan atau pembangunan di Aceh bisa dibilang
masih jalan di tempat (setidaknja menurut saya) padahal kedua lembaga
pemerintahan di Aceh dikuasai GAM baik Legeslatif (sisa periode 2009) dan hasil
pemilu 2014 maupun Eksekutif yang direbut lagi di pilkada 2012. Namun hal ini
tidak terlepas dari perpecahan yang terjadi di tubuh pemerintah Aceh. Ketidak
akuran Zaini & Muzakkir yang semakin kentara, dilanjutkan dengan perebutan
pengaruh kedua kubu (Zaini-Muzakkir) diparlemen yang ikut berperan menghambat
pembangunan di Aceh, dalam hal ini Muzakkir Manaf bisa dikatakan mewakili
golongan kombatan murni yang berjuang di Aceh di masa konflik dan pada akhirnya
terlihat bahwa sepertinya Muzakkir Manaf punya wibawa lebih besar dikalangan
mantan Kombatan GAM khususnya.
Sehingga
pengalaman Muzakkir sebagai wakil gubernur ditasbihkan oleh kenyataan bahwa Muzakkir Manaf bisa mengendalikan
mantan kombatan di Aceh khususnya dan juga Partai Aceh, hal ini menjadi salah
satu keuntungan bagi kemajuan Aceh. Mangapa demikian? karena orang yang bisa
mengendalikan PA dan PNA telah sama-sama bekerja untuk memakmurkan rakyat Aceh
secara umum dan juga para mantan kombatan yang pernah bejuang yang bernaung
dibawah kedua kubu tersebut.
Nah jika
harapan ini tersambut, duet Irwandi Yusuf-Muzakkir Manaf terwujud maka saya
yakin masa depan Aceh akan sepenuhnya berada di tangan Aceh, karena inilah
pasangan Aceh Bersatu yang sesungguhnya. Jika kita
mau mengaca dari pengalaman (semoga kita bisa belajar dari kesalahan
sebelumnya) dan segala persoalan maju mundurnya pertumbuhan pembangunan di Aceh
pasca Koflik di bawah komando ACEH (Irwandi-Nazar dan Zaini-Muzakkir), sehingga
jika kita mau berbenah dengan belajar dari penyebab terjadinya kemunduran dan
berbagai hal yang dapat mendukung kemajuan Aceh, maka di 2017 atau 2018 nanti
saya berharap agar kedua kubu GAM yaitu PA dan
saudaranya PNA bisa kembali akur demi melanjutkan
perjuangan untuk memerdekakan rakyat Aceh dari kemiskinan, kebodohan
dan segala ketertinggalan lainnya.
Saya
memperkirakan jika kedua kubu memang benar-benar berjuang untuk rakyat
sebagaimana yang digaungkan dari masa perang hingga masa damai, maka kedua kubu
akan meninggalkan ego pribadi dan kelompok DEMI RAKYAT ACEH. Dan tentunya kita semua
harus belajar dari pengalaman jangan sampai pecah di tengah jalan yang membuat
pemerintahan mejadi tidak berhasil. Jika harapan saya terealisasi maka saya
optimis duet Irwandi Yusuf dengan Muzakkir Manaf bisa dijadikan komando baru untuk memerdekakan rakyat Aceh dari ketertinggalan baik
dari sektor ekonomi, pendidikan maupun kesehatan dan infrastruktur lainnya yang
dapat membuat rakyat Aceh merasakan kemerdekaan yang telah lama di
idam-idamkan. Tapi itu semua tidak
mudah karena permasalahan yang dialami Aceh, khusunya persoalan antara kedua
kubu PA dan PNA dan Aceh umumnya sungguh sudah sangat kronis, butuh waktu,
kedewasaan, kekompakan, keseriusan, kecerdasan, kesungguhan, keikhlasan dan
kesabaran dari semua element masyarakat Aceh tentunya.
Akhirnya kita berharap jika rekonsiliasi PA dan
PNA dapat terwujud semoga kali ini Aceh (dengan kekuatan politik local) dapat
mensejahterakan rakyat Aceh, bukan lagi berjuang untuk pribadi dan kelompok, jikapun rekonsiliasi kedua kubu gagal terwujud setidaknya kali ini tidak terlihat lagi "perang" saudara antara dua kubu politik di Aceh (PA dan PNA) sehingga rakyat aceh bisa hidup nyaman, aman dan sejahtera dan akhirnya kita sama-sama bisa berteriak.
MERDEKAAAAAAA!
(Dari kebodohan, kemiskinan dan ketertinggalan
lainnja)
Semoga!
Jika tidak maka cepat atau lambat Rakyat akan
berpaling dari kekuatan politik local dan Jakarta (Indonesia) akan kembali
mengambil Alih kekuasaan politik di Aceh.