ANAK
ACEH KEMBALI MENJADI KORBAN MONSTER SEKS, APA YANG BISA DILAKUKAN PEMERINTAH?
“APA hukuman yang pantas untuk pemerkosa & pembunuh bocah 6 thn ini agar
tidak terjadi lagi kasus serupa ke depannya? Keji bin sadisss ...” demikian tanya saudara Hasan Basri M.Nur yang merupakan salah seorang
akademisi salah satu perguruan tinggi di Aceh yang terkenal lumayan kritis dan
perduli terhadap setiap keadaan social di tengah masyarakat Aceh, menanggapi
kasus kekerasan seksual terhadap anak yang kembali terjadi di Aceh tepatnya di
Aceh Utara sebagaimana yang diberitakan oleh media acehtrend.co dengan judul “Di Aceh Utara, Bocah Enam Tahun Diperkosa dan Dibunuh”
Ya, sadis memang dan berulang kali sudah peristiwa
yang memiriskan senada itu menimpa anak-anak Aceh, seakan sudah menjadi sebuah
kebiasaan, tindakan kejahatan seksual terhadap anak yang dulunya hanya kita
baca di media terjadi di luar Aceh, akhir-akhir ini semakin marak terjadi di
Aceh, bak jamur di musim hujan.
Lalu apa? Iya, seperti biasa perang argumentasi dalam
menyikapi peristiwa itu pun tak terhindari, beragam kutukanpun secara sporadis
dilemparkan oleh mereka yang perduli dan merasa prihatin terhadap apa yang
dialami korban, semua berlagak hakim yang seakan berlomba-lomba memutuskan
hukuman yang pantas untuk para "predator" tersebut.
Semua seolah-olah merasa paling
yakin bahwa kejahatan itu terjadi hanya karena kesalahan tunggal si predator
tanpa keterkaitan dengan pihak lain, sehingga ia sangat pantas di dakwa dan
divonis dengan seberat-beratnya sebagai terdakwa tunggal.
Memang kejahatan yang dilakukan
oleh para predator itu sangat mengerikan, hampir semua sepakat bahwa kejahatan
seksual pada anak tidak layak untuk ditolerir apa lagi untuk dimaafkan.
Tanpa bermaksud menjustifikasi
kesalahan yang dilakukan oleh pelaku, namun saya mengajak pembaca dan kita
semua untuk melihat persoalan tersebut secara lebih kompleks, dalam hal ini ada
beberapa pertanyaan yang perlu dijawab untuk menyelesaikan kejahatan ini secara
komperhensif dalam artian tidak hanya menghukum pelaku semata tapi juga
menyentuh dan menyelesaikan hingga ke akar-akarnya sehingga tidak terulang lagi
oleh pelaku lainnya di waktu dan tempat yang berbeda.
Di antara beberapa pertanyaan yang
menurut saya harus dijawab adalah:
1. Apakah kejahatan ini terjadi karena para predator
mengidap penyakit pedofelia?
2. Atau karena para predator mengalami Hiper Seks?
3. Atau karena para predator gagal menyalurkan nafsu
seksualnya pada orang dewasa (baik secara halal maupun haram)?
4. Atau karena para predator terinspirasi oleh media yang
semakin vulgar bin bebas tanpa nilai?
Jika jawabannya adalah melibatkan
no 4 maka ini menandakan bahwa perkembangan tekhnologi telah melampaui
pertumbuhan akal manusia sehingga tekhnologi telah membawa pengaruh negatif
yang seharusnya bisa dihindari oleh peranal akal. Lebih tegasnya lagi kita bisa
mengatakan bahwa ini adalah dampak dari pertumbuhan raga yang telah melampaui
perkembangan jiwa.
Jika hipotesis ini benar, maka para
predator juga termasuk korban yang pada akhirnya mengorbankan korban-korban
lainnya. Pelaku pemerkosaan atau kejahatan seksual pada anak ini adalah korban
dari keteledoran dan ketidak pedulian pemerintah yang membiarkan situs porno
maupun berbagai pemicu tindak kekerasan (kejahatan) seksual lainnya tayang secara
bebas bin vulgar.
Kita semua sepakat kejahatan dan
pelanggaran tidak untuk ditolerir tapi menghukum pelaku (predator) seksual saja
tanpa menindak pemicu kejahatan seksual itu sendiri bukanlah solusi.
Artinya kita harus melihat
persoalan ini secara lebih kompleks bukan hanya dari sisi klimaksnya (tindakan
predator) saja tapi juga semua aspek yang terkait baik langsung maupun tidak
langsung ke kejahatan yang hendak diselesaikan.
Pemerintah Harus Proaktif
Dalam upaya penyelesaina masalah
ini saya melihat bahwa pemerintah selaku penguasa di negeri ini perlu bahkan
sangat perlu untuk segera bergerak mencari solusi untuk menyelesaikan persoalan
ummat, saya memandang bahwa dalam hal ini Gubernur atau DPRA harus punya
inisiatif untuk melakukan langkah-langkah proteksif agar persoalan tersebut
bias terselesaikan, praktisnya pemerintah perlu merumuskan Qanun untuk
menertibkan situs dan segala media baik cetak maupun online yang ikut memicu
tindak kejahatan seksual ini, apakah ini mungkin? Saya kira di sinilah kita bias
melihat bahwa seserius apa pemerintah memperjuangkan kepentingan ummat dan
perduli atas keselamatan dan masa depan generasi muda penerus bangsa.
Kalau persoalan Batu Akik (ingat
fenomena batu giok) DPRA begitu responsif untuk merancang Qanun terkait "putaran
uang?" yang dikaitkan dengan resolusi untuk melestarikan lingkungan,
apakah kali ini DPRA belum punya cukup alasan untuk bertindak
"melestarikan" manusia-manusia di lingkungannya "karena
ketiadaan perputaran uang"?
Atau di pihak lain apakah Gubernur
selaku pimpinan tertinggi di daerah yang bersyari’at ini tidak bisa bertindak
apapun dengan segala kekuasaannya misalnya dengan mengeluarkan pergub terkait
dengan penertiban hal-hal yang bisa memicu terjadinya kejahatan yang sangat
mengkhawatirkan dan sangat mengancam masa depan anak bangsa ini? Atau hanya
peduli dengan kebijakan-kebijakangan yang menghasilkan keuntungan secara
financial demi memuaskan nafsu kekayaan dan kekuasaannya semanat?
Whell…
Cuma bisa menghakimi? Terlalu naif
untuk menjelesaikan persoalan ummat
Penulis: Muhammad Ramadhan Al-Faruq
(Pengurus DPD Pospera Aceh)