Deru peluru serdadu sudah
berganti dengan limpahan rupiah, dentuman bom telah berganti dengan desingan
knalpot Avanza dan Fortuner warna warni yangt terus meriuhkan seantero Aceh
dari ibu kota hingga ke sudut desa, kepingan rumah yang terbakar telah beganti
dengan bangunan rumah mewah yang mulai berjejer hingga ke sudut desa, itulah
Aceh dulu dan kini,
Namun apa daya seakan
virus penyakit menular berbagai tragedi "kemanusiaan" seakan terus
saja membuktikan bahwa "krisis kemanusiaan" di Aceh belum selesai bahkan
sudah pada tahapan mengkhawatirkan bahkan lebih mengkhawatirkan dari apa yang
terjadi di 30 tahun yang lalu semasa Aceh dilanda perang, nyawa belum berhenti
melayang tanpa wajar dari badan, darah perawan terus saja mengalir tanpa aqad
dan kehalalan, harta terus saja dirampas dari pemilik tanpa kerelaan, baik
dengan kekerasan maupun dengan penuh kelembutan nan menyekitkan.
Betapa
tidak? berita terkait pelecehan, pembunuhan, pemerkosaan, pemalakan,
penculikan, perampokan seakan menjadi tontonan wajib bak kopi pagi yang tak
pernah henti diseruput oleh orang Aceh gelas demi gelasnya.
Kenapa
hal ini terjadi?
Kata Apa Gamblang “Perang
yang berkepanjangan akan melahirkan generasi bengis tanpa toleran”.
Hal
ini tidak bisa dipungkiri, secara lebih tegas kita bisa mengatakan bahwa Aceh
mengalami defisit kemanusiaan, bukan dalam artian jumlah manusianya yang
mengalami kekurangan tapi otak dan rasa kemanusiaannya yang mengalami
ketertinggalan dan sarat permasalahan.
Pembangunan
fisik dan infrastruktur sisa perang dan tsunami di Aceh bisa terkejar dengan
gelontoran triliunan dollar US, namun pembangunan manusianya tetap saja tak
terkejar dengan seberapa banyakpun uang yang dikompensasikan.
Generasi
Aceh mengalami defisit kemanusiaan sejauh 30 Tahun daripada perkembangan fisik
dan kecanggihan Zaman.
Infrastruktur
dan fasilitas yang terbangun pasca perang dilengkapi dengan pertumbuhan
tehnologi yang begitu pesat telah membuat generasi Aceh kelabakan.
Akses
informasi yang tanpa batasan, peredaran narkoba yang tak terjendalikan,
pemerintah yang tak bisa diharapkan, korupsi dan pengibulan yang sungguh
mengkhawatirkan, penegak hukum yang tidak bisa diandalkan, pagar social
(kerifan local) yang seakan roboh tanpa ada yang memperdulikan seakan mejadikan
lobang kehancuran generasi Aceh semakin besar dan dalam.
Dulu
kekerasan fisik terhadap anak hanya berupa jewelan ketika seorang anak
melakukan kesalahan, sekarang kekerasan terhadap anak malah terjadi ketika sianak
dipaksa melakukan ketidak benaran.
Dulu
kekerasan seksual terhadap Perempuan Aceh hanya "dilakukan" oleh
serdadu dengan dalih sebagai "musuh" yang harus diperangi, sekarang
kekerasan seksual terhadap anak dan perempuan malah dilakukan oleh orang-orang
yang seharusnya melindungi mereka.
Dulu
perderan narkotika hanya terjadi antar desa, itupun hanya dalam jenis murahan
semisal ganja yang pelakunya sangat "tertutup" karena menghindari
pihak keamanan, sekarang peredaran narkotika tidak lagi sesederhana dulu tapi
sudah kelas atas yang tak jarang malah melibatkan pihak yang seharusnya
memberantas.
Dulu
perampokan dan penculikan hanya menjadi tontonan dilayar lebar yang tayangannya
terbatas untuk orang dewasa pada jam tertentu, sekarang drama perampokan dan penculikan
malah dilakukan dan terjadi dilingkungan kita dan siapa saja bisa menjadi
korban ketidak manusiaan tersebut.
Bukankah
Aceh mengalami defisit kemanusiaan? Yang pertumbuhan fisik dan infrastruktur
serta kecanggihan zamannya jauh meniggalkan pertumbuhan jiwa manusia?
Mari rapatkan barisan, jaga diri kita dan
keluarga kita dari Api Neraka.