(Catatan ringan untuk instrospeksi diri)
Melihat
Gejala yang akhir-akhir ini mengemuka di Aceh, saya jadi teringat ketika ada mantan
pendeta yang sempat di puja dan mengkampanjekan bahwa ada produk tertentu yang
terbuat mengandung unsur babi.
Sesaat
setelah itu, orang Aceh yang kesadaran
(sensitivitas) agamanja lumayan tinggi meski pemahamannja terkadang sangat
dangkal yang membuat sebahagian orang Aceh begitu mudah tersulut
emosi, termakan propaganda sehingga ada yang langsung pulang ke rumah:
Tank
Tink
Kham
Khum
Alhasil Tupperware pun babak belur.
Lantas
apa yang terjadi?
Kemudian
setelah jati diri (kedok) sang mantan pendeta mulai terbuka, para korban
propagandapun hanja bisa menangisi Tupper Ware yang dibelinja dengan harga
mahal dan uang halal hasil keringatnja harus phak luyak gara-gara sepakat tapi
tak saban meuphom.
Peu
hom?
Pokoknja,
haram
Thamp....
Nah
saya juga mulai mengkhawatirkan issu yang menjulut perpecahan di tengah rakyat
Aceh yang berhembus kencang akhir-akhir ini akan menimbulkan kerusakan yang
lebih besar dan fatal.
Kalo
sebelumnja hanja Tupper Ware yang phak luyak, tidak tertutup kemungkinan kali
ini orangnja (sesama rakyat Aceh,
sesama muslim) yang akan phak luyak.
Berbicara
kekhawatiran akan hancurnja Aqidah generasi muda (penerus)Aceh ke depan, saya sendiri
sangat khawatir akan itu, saya yakin semua orang Aceh sangat perduli terkait
hal tersebut.
Namun
ironisnja kekhawatiran itu tidak ditindak lanjuti secara bijak.
Betapa
tidak?
Coba
kita cermati:
Kita
khawatir dengan Aqidah tapi kita sendiri terkadang tak pernah peduli dengan
pendidikan aqidah anak-anak, adek-adek, saudara atau bahkan kita sendiri,
adakah kita semua terbekali dan membekali diri dan saudara kita dengan Aqidah
yang benar? Yang Ahlussunnah seperti yang kita banggakan? Jika belum maka sudah
seharusnja kita kembali fokus dan menunjukkan kepedulian kita dengan
menghidupkan lagi pendidikan yang baik kepada generasi ke depan.
Kita
sangat peduli dengan agama dan aqidah ummat, tapi pengajian di meunasah di
setiap desa tidak ada yang peduli, bahkan kita sama sekali tidak mau tau, walau
harus "tutup" karena tidak ada peserta sekalipun, kita tak pernah
peka akan hal itu, kita lebih memilih menghabiskan waktu di warong kopi,
persimpangan jalan atau bahkan sekedar tiduran di pos jaga di depan Meunasah tempat berlangsungnja
pengajian.
Kita
begitu peduli dengan Mesjid Raya Baiturrahman, tapi kondisi mesjid di
sekeliling kita yang jama'ahnja selalu "sekarat" tidak pernah kita
hirau, bahkan shalatpun terkadang tidak,
Kita
tidak ridha jika yang mengimami shalat shubuh tidak baca qunut, kita sendiri
tak pernah bisa (mau) menjadi imam, atau sekedar makmum atau bahkan shalat
shubuh berjamaah saja tidak pernah, "na'uzubillah" bahkan bisa jadi
shalat shubuh pun tidak.
Inilah
Aceh, Aceh yang sangat cinta agama namun banjak yang tidak peduli (belajar)
tentang agama.
Na'uzubillah...
Semoga kita semua terpilih menjadi hamba yang senantiasa dalam naungan rahmat
dan kasih sayang serta tidak pernah luput dari HIDAYAH-NYA.
"Merintis kesadaran, menanti kedewasaan dan berharap
kebenaran"!
Allahummahdinash-shiraathalmustaqiim..