KEKUASAAN DAN KECERDASAN MENGELOLA ISSU
Jeh kemarin A katanya berjuang demi kesejahteraan ummat, untuk memberikan keadilan bagi korban pelanggaran HAM, sekarang kok mereka tidak peduli lagi? lha sekarang kelompok A kembali menggaungkan semangat keberpihakannya pada ummat dengan mengangkat issu baru, apakah kali ini mereka serius? atau kita akan tertipu untuk kesekian kalinya?" itu adalah pertanyaan yang timbul di benak kita ketika kita melihat para kontestan politik bekerja keras dalam memperebutkan simpati rakyat, semua issu yang mereka wacanakan seakan-akan semuanya demi rakyat. Dalam kontestasi politik di alam demokrasi yang seliberal di
Indonesia bahkan di dunia Internasional sekarang sukses atau tidaknya seseorang
atau kelompok dalam menggapai kekuasaan sangat tergantung dari kecerdasan
memilih dan mengelola Issu yang akan ditawarkan dan dijadikan magnet untuk
memperoleh dukungan yang sebesar-besarnya demi meraih tujuan akhir berupa
kekuasaan.
Gonta ganti Issu bukanlah hal yang tabu, ketika Issu
"A" mulai tidak memikat atau tidak relevan karena konstituen mulai
tidak percaya atau karena para Aktor yang dulunya menggiring Issu tersebut
mulai mencapai titik puncak ketidak sepahaman, maka kemudian para aktor akan
mengeksploitasi issu baru mislnya issu "B" meski dengan kompetitor
dan partner baru.
Dan pemilihan Issu sangat tergantung dari komunitas yang
diincar, misalnya:
Jika masyarakatnya (konstituen) "Tertindas" maka Issu
keadilan dan HAM adalah pilihan, Sebagai contoh ada aktor atau kandidat yang
ketika berkampanye atau bahkan ketika masih dijalanan begitu lantang
menyuarakan pentingnya keadilan dan penghormatan terhadap HAM, namun nyatanya
ketika ia sukses merengkuh kekuasaan baik di eksekutif maupun dilegeslatif ia
"terkesan" sama sekali atau bahkan benar-benar tidak perduli dengan
keadilan dan HAM yang konon dulu begitu nyaring ia teriakkan di depan massa.
Jika Masyarakat (konstituen) "Miskin" maka Issu
kesejahteraan adalah pilihan, Misalnya ada aktor yang ketika masih bersama
rakyat begitu fasih berbicara terkait upaya meningkatkan kesejahteraan
masyarakat, membuka lapangan kerja maupun berbagai upaya lainnya untuk
mengangkat taraf hidup komunitas yang sedang ia harapkan dukungannya, namun
setelah kekuasaan ia dapatkan, apa yang terjadi? mereka hanya memikirkan
keuntungan untuk mereke sendiri, mereka pura-pura lupa atau bahkan benar-benar
melupakan kesejahteraan yang pernah ia janjikan kepada konstituennya.
Jika masyarakat "Agamis" maka Issu agama adalah
pilihan, Misalnya ketika di Indonesia yang dikenal dengan negara dengan
komunitas muslim terbesar di dunia, ada aktor aktor politik yang dengan terang-terangan
mengeksploitasi sentimen keagamaan untuk memperoleh dukungan dari massa yang ia
targetkan, meskipun pada dasarnya ia sama sekali tidak peduli atau bahkan
merasa tidak penting dengan issu yang ia suarakan, ia berbicara tentang
kejujuran yang merupakan salah nilai luhur dari Agama Islam misalnya, namun
nyatanya ketika ia menggapai kekuasaan malah ia sendiri yang melakukan tindakan
yang berlawanan dengan nilai kejujuran (issu) yang dulunya ia suarakan, ia
menyuarakan tentang kekhawatirannya akan pendangkalan akidah ummat, namun
nyatanya ia sama sekali tidak peduli dengan akidah ummat dan juga berbagai issu
keagamaan lainnja, ia ngomong anti syi'ah di tengah komunitas sunni, atau
berbicara anti sunni di tengah komunitas yang mayoritasnya syi'ah, yang
sejatinya para aktor tersebut sama sekali tidak perduli dengan issu tersebut.
Bagi mereka issu apapun akan selalu dilihat baik dan akan terus
dieksploitasi jika bisa memberikan keuntungan, karena yang terpenting adalah
Gaoalnya yaitu kekuasaan bisa diraih, kekayaan bisa digapai, persoalan tanggung
jawab moral itu hanyalah perhitungan yang kesekian atau bahkan tidak
diperhitungkan sama sekali.
Namun kesuksesan para aktor dalam mengelola Issu juga sangat tergantung
juga dari tingkat kesadaran politik dan pemahaman politik dari komunitas yang
diincar. Apabila kesadaran politik sangat rendah tetapi kepercayaan kepada
pengelola Issu sangat tinggi, maka akan melahirkan partisipasi politik yang
cenderung fanatis bahkan "berpeluang" menjurus ekstreem.
"Di tengah kondisi masyarakat yang tingkat fanatismenya melampaui pemahamannya terhadap keadaan yang berkembang atau issu yang dihembuskan terkadang kecerdasan mengeksploitasi dan megelola issu itu jauh lebih mumpuni untuk memenangkan kontestasi politik daripada menyiapkan program pembangunan yang sejatinya lebih berguna dan lebih dibutuhkan"
Yang penting sepakat, soal
sepaham atau tidak itu belakangan!