Iya
demikianlah kurang lebih maupun lebih kurang pernyataan Apa Karya dalam
berbagai kesempatan yang ingin mengesankan bahwa hanya dirinya yang tidak
mungkin korupsi karena TIDAK PUNYA ANAK sebagai pewaris peninggalannya kelak,
berbeda dengan kandidat lain yang punya keluarga dan keturunan.
Jika diseriusi sebenarnya
sebagai anak saya sangat tersakiti ketika Apa Karya berulang-ulang mengatakan
bahwa "Lon han ku korupsi, hana keu so ku jok, aneuk pih tan"
seakan-akan saya dibesarkan oleh orang tua saya dengan hasil korupsi,
seakan-akan semua orang tua yang punya anak menafkahi keluarganya dengan hasil
korupsi, seakan-akan semua manusia yang berstatus ayah di dunia ini adalah
Pancuri Tujoeh.
Atau
setidaknya semua kepala daerah yang punya keturunan adalah otomatis punya niat
untuk menjadi koruptor, semua kandidat yang sedang bertarung dan punja anak
adalah bertarung untuk korupsi.
Ini
penistaan terhadap orang tua dan terhadap kandidat lain seperti Tarmizi A Karim
dan Wakilnya, Wakil Apa Karya sendiri HT Alaidinsyah, Abdullah puteh dan
Wakilnya, Doto Zaini dan Wakilnya, Mualem dan Wakilnya dan Cagub Jagoan saya
Irwandi Yusuf dan Wakilnya.
Sangat
saya sayangkan pernyataan semacam itu disampaikan oleh seorang cagub, tapi
karena saya menyadari Apa Karya "mungkin" tidak bermasud sama seperti
yang saya rasakan, untuk itulah saya tidak mempersoalkan pernyataan Apa Karya
dan saya tidak menggiring dan mempolitisir pernyataan (guyonan) Apa Karya
terhadap 5 Cagub dan 6 Cawagub lainnya yang sama sama bertarung dalam pilkada
dan sama-sama punya anak.
Jika
saja saya ingin mempolitisir saya akan menuding Apa Karya telah menghina orang
tua yang paunya anak bahkan Apa Karya secara tidak langsung juga menuduh orang
tuanya sendiri sebagai koruptor dan ia dibesarkan oleh orang tuanya dengan
hasil korupsi, absurd kali bukan?
TIDAK
PERLU DIPOLITISIR
Sebagai
bagian dari tim pemenangan Irwandi Yusuf saya bisa saja mempolitisir hal-hal
seperti itu, tapi saya tidak sedang ingin merusak mood orang yang terhibur oleh
"ulok-ulok" ala Apa Karya, saya justru melihat kehadiran Apa dengan
"uloknya" merupakan sebuah hadiah (hiburan) bagi rakyat Aceh yang
selama ini seringkali dihantui oleh intimidasi dan tekanan demi tekanan di
setiap musim kontestasi politik yang kita tau Apa Karya adalah bagian dari
suram maupun cerahnya iklim politik di Aceh selama ini.
Satu
pertanyaan dari saya untuk mereka yang "seolah-olah bersimpati" pada
Apa (bukan untuk yang benar-benar tersakiti, karena buat mereka saya minta maaf
sebesar-besarnya atas pernyataan kandidat yang saya dukung yang dinilai
kelewatan).
MEMBULLY
IRWANDI, UNTUK "APA"?
Ada
kandidat lain yang menyayangkan pernyataan "guyonan" Irwandi, apakah
mereka bersimpati untuk Apa? Tidak dan tidak, mereka sedang memuaskan diri.
Bodoh sekali kandidat dan timses kandidat lain jika tidak mencoba mengambil
untung atas "guyonan nakal" Irwandi Yusuf kepada Apa Karya.
Ini
adalah kesempatan langka untuk mencoba menunjukkan diri mereka lebih baik dari
"guyonan" Irwandi Yusuf.
Tapi
bagi saya sebagai pendukung Irwandi Nova saya melihat aksi curi-curi untung
oleh kandidat lain dan timsesnya adalah wajar, karena popularitas mereka
semakin jauh tertinggal dari Irwandi Yusuf.
Adapun
yang lebih penting dari itu adalah hari ini hampir semua kandidat sedang
menkampenyekan #JKA sekaligus sang #Pelopornya, dari mulut ke mulut dari meja
ke meja bahkan dari panggung ke panggung hingga ke panggung debat disiarkan
live sekalipun.
Pun
demikian saya berkesimpulan, dari sudut pandang paling santun kata-kata Irwandi
memang tergolong kelewatan sama kelewatannya dengan pernyataan Apa Karya, tapi
toh mereka (Apa Karya dan Irwandi) saja menganggap itu guyonan alias ulok.
Namun
secara politis aksi "seolah-olah" simpatik dari kandidat lain maupun
timsesnya menurut saya juga wajar meskipun saya menilainya tidak murni atas
nama iba tapi lebih sebagai upaya mencuri kesempatan untuk
"membantai" lawan politiknya.
Hal
ini bisa saja menimpa semua kandidat yang bertarung, misalnya yang menimpa Apa
Karya, Mualem dan Doto Zaini terkait janji satu juta per KK yang dipersoalkan
Irwandi dan kemudian menjadi trending topik di dunia maya.
Selain
itu juga ada masalah bantuan Rp 650 M untuk eks kombatan yang justru berawal
dari pertanyaan Apa Karya pada Cagub dan Cawagub usungannya sendiri di 2012
silam yang kemudian jadi objek bullyan para netizen.
Bahkan
Tarmizi A Karim sendiri yang dikatakan banjak orang santun juga kena bully saat
berurusan dengan Apa Karya soal pertemuan keduanya di rumah Apa kala ini.
Fenomena
ini merupakan sesuatu yang wajar mengingat persaingan menuju Aceh satu yang
semakin panas dan animo masyarakat yang terus meningkat yang didukung oleh
perkembangan media yang semakin pesat, dimana dalam hitungan detik saja
informasi bisa tersebar luas lewat jejaring sosial (cyber) media.
So
mari kita tunggu siapa lagi yang akan dapat giliran bully di kesempatan
selanjutnja? Tapi jangan lupa untuk saling memaafkan, karena pilkada ini hanja
sesa'at.
Anda
baper terhadap tanggapan saya? saya mohon maaf sebesar-besarnya.
Hhee