ACEH HARUS BELAJAR DARI SCOTLANDIA.
Irlandia, Wales, Scotlandia sama-sama merupakan
bagian dari Britania Raya yang tunduk dibawah kerajaan Inggris, pada mulanya negara tersebut Scotlandia dan Irlandia melakukan perlawanan terhadap Inggris,
hal ini dikarenakan mereka merasa dijajah oleh Negara yang dipimpin oleh Ratu
Elizabet tersebut, rakyat Scotlandia dan Irlandia sama-sama merasa tidak
diperlakukan secara adil oleh Inggris, hal yang sama juga dirasakan dalam
hubungan Aceh dan Makassar, Papua, Maluku dan beberapa daerah lainnya dengan Indonesia. Salah satu alasan terbesar yang mendorong Scotlandia ingin merdeka
dari inggris adalah Mereka yakin
kemerdekaan akan meningkatkan
perekonomian Scotland, kubu pendukung kemerdekaan berpendapat Skotlandia yang merdeka akan
lebih mampu mengelola perekonomian, terutama penghasilan dari pajak dan
cadangan minyak di lepas pantai Skotlandia, alasan yang “hampir” serupa atau
bahkan memang sama juga menjadi pendorong perjuangan Aceh dan Papua untuk
melawan Indonesia, karena rakyat Papua dan Aceh merasakan “tanah” mereka hanya
menjadi ladang “profit” bagi Indonesia, sementara kehidupan rakyatnya tidak
pernah sejahtera.
Bahkan lebih parah lagi penjajahan yang dialami oleh rakyat
Scotlandia dan Irlandia lebih parah dari yang dialami Aceh dan beberapa daerah
lainnya di Indonesia, rakyat Scotlandia dan Irlandia dipaksa menganut agama Kristen
Ortodoks, sementara dalam konteks hubungan Aceh dengan Indonesia ketidak adilan
yang dirasakan rakyat Aceh tidak separah itu, rakyat Aceh tidak dipaksakan
harus menganut agama tertentu oleh Indonesia, Rakyat Indonsia diberikan
kebebasan untuk menganut agama dan beribadah menurut agamannya masing-masing.
Dalam perjalanannya Scotlandia dan Irlandia memilih cara yang berbeda untuk
menghadapi ketidak adilan dari Inggris, Irlandia terus berperang, sedangkan Scotland tidak lagi dengan melakukan perlawanan
bersenjata, tapi mereka memilih berdamai dan berjuang melalui jalur demokrasi,
rakyat Scotlandia memilih berhenti berperang setelah lima tahun melakukan
perlawanan bersenjata secara frontal, mereka menilai bahwa jikapun terus
berperang dan Inggris tidak akan mampu menaklukkan dan menghentikan perlawanan
mereka, namun yang pasti mereka juga tidak akan mampu menaklukkan Inggris dan
satu hal yang pasti perang akan menimbulkan kerugian yang sangat besar, baik
dalam bentuk harta, tenaga bahkan jiwa rakyatnya akan terus terancam, betapa
banyak tenaga pemudanya yang akan terkuras untuk terus angkat senjata, namun
Inggris tetap sulit dikalahkan, dengan perhitungan dan pertimbangan seperti itu akhirnya mereka
merobah strategi perlawanannya menjadi lebih soft yaitu melalui jalur
demokrasi. Dengan memilih berdamai dengan Inggris bangsa Scotland telah
berhasil meraih kembali kesempatan untuk membangun negerinya, kesempatan untuk
mengembangkan SDMnya yang tidak mungkin didapat jika mereka memilih terus berperang
dengan senjata, sehingga jika mereka tetap berperang negeri mereka akan terus
dalam kehancuran, rakyat mereka akan semakin ketinggalan dari bangsa-bangsa
lainnya.
Bahkan lebih jauh lagi rakyat Scotland setelah memilih berdamai
dengan Inggris mulai berfikir lebih tinggi dari sekedar membebaskan bangsanya
dari ketidak adilan, tapi mereka juga ingin membangun kualitas SDM nya dengan
pendidikan yang baik dan berkualitas, sehingga suatu saat nanti mereka akan
mampu menjajah atau setidaknya bisa maju lebih lepat dari Inggris itu sendiri
dan pada akhirnya tanpa perang dan letupan senjata bangsa Scotland meski gagal
merdeka namun berhasil mewujudkan cita-citanya untuk memimpin inggris dengan
terpilihnya Tony Blair sebagai Perdana Menteri Inggris selama dua periode.
Secara kedaulatan mereka memang gagal melepaskan diri dari Inggris namun pada
hakikatnya mereka telah berhasil melompat lebih tinggi dari bangsa lain yang
juga berada dibawah kekuasaan Inggris seperti Irlandia, Wales, Australia dll.
Hal yang sama dengan apa yang dialami rakyat Scotlandia atau bahkan
lebih konkrit pernah dilakukan Aceh dalam upayanya menuntut kemerdekaan dan
keadilan dari Indonesia, kalau rakyat Scotlandia hanya mampu berperang lima
tahun, maka rakyat Aceh bisa melakukannya hingga tiga puluh tahun (GAM
1976-2005), bahkan jika kita mundur ke belakang lagi Aceh tidak pernah sepi dari
perlawanan. Satu hal yang pasti dengan durasi perang yang jauh lebih lama
dibandingkan yang dilakukan oleh rakyat Scotlandia terhadap Inggris, perjuangan
Rakyat Aceh memakan korban yang jauh lebih besar dari perjuangan Scotland, baik
korban jiwa, harta maupun korban kesempatan generasi muda untuk tumbuh dan
berkembang secara normal yang telah direnggut oleh perang.
Alhasil sampai hari ini Aceh dengan sejarah panjang perlawanannya baik
dibawah komando Dawod Bereueh mupun di bawah Komando Hasan Tiro, terlepas dari apa
penyebabnya dan siapa yang berkhianat atas perjuangan tersebut, yang pasti Aceh
masih bagian dari NKRI dalam artian Aceh masih belum Merdeka plus kehidupan
rakyat Aceh yang masih sangat jauh dari kata sejahtera. Harta dan jiwa rakyat
Aceh yang menjadi korban selama perjuangan tidak sedikit, kehidupan social masyarakat
semakin amburadul, ekonomi hancur, kesempatan generasi muda untuk mengenyam
pendidikan yang berkualitas sirna. Dan Sebuah realitas yang harus diterima
bahwa langkah awal bagi Aceh untuk mengikuti jejak Scotland telah dirintis
semenjak 2005, kita harus melihat ini sebagai titik “perobahan” strategi
perjuangan untuk mewujudkan cita-cita mensejahterakan rakyat Aceh dan
membebaskan rakyat Aceh dari ketidak adilan.
Lantas kenapa sudah 10 tahun
Damai Aceh masih belum mampu bangkit?
Pertanyaan inilah yang harus kita temukan jawabannya agar kita bisa
mengikuti jejak Scotlandia dengan sempurna, tidak sebatas meletakkan senjata
dan berdamai, Bangsa Skotland berhasil memanfaatkan situasi damai dengan sangat
baik, mereka memilih untuk berjuang dari jalur demokrasi, serta tidak berhenti
berupaya membangiun bangsanya dengan memperbaiki kualitas SDM nya, rakyat
Scotland yang sebelumnya tidak bisa memperoleh pendidikan yang memadai, namun
pasca damai mereka menjadikan pendidikan sebagai prioritas utama, mereka sadar
bahwa maju atau tidaknya suatu bangsa tidak hanya tergantung pada SDAnya yang
berlimpah, namun sangat ditentukan oleh SDM yang berkualitas. Sejatinya hal ini
di awal masa pasca damai di Aceh juga sudah mulai dirintis, yaitu dengan
program pemberian beasiswa kepada generasi muda Aceh untuk mendapatkan
pendidikan yang berkualitas, dengan harapan di masa yang akan datang mereka akan
menjadi penerus perjuangan untuk membangun negerinya agar bisa secepatnya
bangkit dari keterpurukan. Namun dalam perjalanannya Penguasa di Aceh seperti
merasa diri sudah sangat maju dan sangat merdeka sehingga mereka seakan
melupakan apa yang seharusnya diprioritaskan, penguasa di Aceh lebih disibukkan
dengan pertarungan politik yang sejatinya hanya soal “pengakuan” atas kekhususan
Aceh, namun mereka lupa bahwa Aceh dengan segala kekhasannya tetap tidak akan
mempu sejahtera tanpa didukung oleh SDM yang berkualitas, lebih parahnya lagi,
penguasa di Aceh terkesan “menikmati” kebodohan rakyatnya, mereka terus
mengumbar janji-janji kosong yang secara akal sehat dan kalkulasi yang tepat
sangat sulit atau bahkan tidak akan mampu terealiasasi, sementara kualitas SDM
Aceh dari hari kehari tak kunjung membaik, kemiskinan tak kunjung teratasi,
lapangan kerja yang sejatinya kebutuhan mendesak rakyat Aceh gagal terpenuhi,
yang terjadi malah adu gengsi yang terus memicu perpecahan dan menimbulkan
benih-benih konflik baru dalam kehidupan rakyat Aceh.
Bayangkan saja dengan anggaran yang dikucurkan pemerintah pusat ke
Aceh yang jauh melebihi daerah lain di Indonesia namun perekonomian rakyat Aceh
tak kunjung membaik, kualitas hidup rakyat tetap sangat mengkhawatirkan, untuk
jangka panjang sepertinya jika pemerintah Aceh tidak secapatnya menyadari hal
ini maka perjuangan rakyat Aceh dengan segala pengorbanannya akan sia-sia
perdamaian akan dikenang sebagai peralihan penjajahan dari Indonesia ke bangsa Aceh sendiri, kesejahteraan yang diharapkan rakyat Aceh pasca damai semakin
terasa semu, perjalanan Aceh seperti sedang merintis jalan kembali kemasa
perang, kedhaliman seakan menjadi kebanggaan, keadilan semakin mahal dan
langka, kekuasaan dijadikan sebagai ajang untuk mengumpulkan harta. Sudah saatnya kita sadar, sudah saatnya kita berfikir lebih sehat agar
perjuangan dan perdamaian di Aceh harus benar-benar dimanfaatkan secara
maksimal untuk membawa rakyat Aceh mencapai cita-citanya untuk merdeka dari
kebodohan, merdeka dari kemiskinan dan merdeka dari ketidak adilan, sehingga rakyat
Aceh bisa menikmati hidup dengan “merdeka” seperti bangsa-bangsa lainnya di
dunia.
Jika kita mau belajar pada perjalan Scotlandia, pasca damai mereka
berhasil bangkit karena mereka menjadikan pembangunan SDM sebagai prioritas
untama, dengan kualitas SDM yang semakin baik dari hari ke hari maka tanpa
kemerdekaan secara defacto dan dejure sekalipun rakyat Scotlandia dengan sendirinya telah bisa menikmati hidup dengan penuh kemerdekaan.