BAGAIMANA SEHARUSNYA BENDERA BINTANG BULAN DILIHAT?
Pasca ditanda tanganinya perjanjian damai
antara Rl dengan GAM, semenjak itulah keberadaan dan pengibaran bendera Bendera
Bintang Bulan (BB) di Aceh selalu menuai kontoversi, kontroversi tersebut
bahkan semakin tajam pasca Lahirnya
Qanun (Perda) No.3/2013 tentang Bendera dan Lambang Provinsi Aceh yang
disebut-sebut mirip bendera Gerakan Aceh Merdeka (GAM), ini “dianggap”
bertabrakan dengan Peraturan Pemerintah (PP) No.77 Tahun 2007 tentang Lambang
Daerah.
BINTANG BULAN DI MATA RI
Bagi RI keberadaan BB di Aceh adalah haram,
sehingga wajar saja mereka selalu menanggapi setiap wacana yang terkait dengan
BB dengan penuh "ketakutan".
Kontroversi
tersebut bukan tanpa dasar mengingat bendera tersebut sudah 30 tahun
dipertahankan dengan ribuan nyawa dan hampir tidak pernah diperdebatkan
sebelumnya bahwa bendera tersebut telah menjadi simbul perlawanan yang sangat
dimusuhi oleh RI.
Ini
dikarenakan RI melihat bendera ini dengan cara pandang yang sangat terhormat,
RI memandang bendera BB tersebut setara dengan sangsaka Merah Putih (MP)
sehingga keberadaan bendera BB tersebut dianggap sebagai saingan langsung alias
kompetitor setara yang harus diberangus dari setiap jengkal tanah yang dikuasai
oleh RI, tidak ada kompromi apa lagi toleransi untuk saingan MP tersebut,
bahkan cara yang sama masih berlaku hingga sekarang dan mungkin saja sampai
nanti, penolakan RI terhadap BB karena dianggap menabrak Peraturan Pemerintah (PP) No.77
Tahun 2007 tentang Lambang Daerah.
ACEH MELIHAT BINTANG BULAN
Terlepas dari cara pandang RI yang sudah sangat jelas terhadap BB,
di Aceh sendiri keberadaan bendera BB tersebut juga ditanggapi beragam, di antara
beberapa cara pandang yang bisa “dijadikan” contoh pegangan dalam melihat Bendera
Bintang Bulan di Aceh dan akan melahirkan penilaian serta penghormatan yang
sangat berbeda terhadap keberadaan BB di Aceh, cara pandang tersebut antara lain yaitu:
1.
BB sebagai bendera Neugara Aceh.
Bendera BB dilihat sebagai bendera Neugara Aceh maka hal ini sudah
sangat sesuai dengan cara pandang RI terhadap bendera BB tersebut, artinya bendera
BB tersebut harus sangat dihormati karena merupakan simbul kedaulatan Aceh
sebagai sebuah negara yang sudah sepantasnya dijunjung tinggi dan dikibarkan
secara terhormat setara dengan sangsaka Mereh Putih milik RI, dengan cara
pandang ini sangat "wajar" RI mengharamkan pengibaran bendera BB yang merupakan
bendera Neugara Aceh mengingat RI belum “merelakan” tanah Aceh lepas dari
kedaulatan NKRI, cara pendang ini juga dimiliki oleh sebahagian Orang Aceh
termasuk para pejuang GAM yang tidak menginginkan bendera BB dikibarkan di bawah
merah putih, jika memang harus dikibarkan haruslah sejajar dengan atau tanpa MP
sekalipun, BB harus tetap harus dikibarkan di ujung tiang tertinggi di setiap jengkal
tanah Aceh, jika ini “pengibaran setara” belum bisa dilakukan, maka mereka
lebih memilih untuk menunda pengibaran bendera BB tersebut demi menyelamatkan
perjuangan Aceh yang telah menelankan korban harta, jiwa dan tenaga yang tidak
sedikit, sehingga mereka tidak rela bendera BB dikibarkan dibawah MP, karena
pengibaran bendera BB dibawah MP adalah sebuah pelecehan yang sangat besar
terhadap perjuangan Aceh yang sangat panjang.
2.
BB sebagai bendera Provinsi Aceh
Bendera bendera BB dipandang sebagai bendera Provonsi Aceh sesuai
dengan qanun yang telah disahkan oleh DPR Aceh yang telah melalui berbagai
tahapan dan menghabiskan biaya dan waktu yang tidak sedikit namun ditentang
oleh RI karena bertentangan dengan cara pandang RI terhadap bendera BB
tersebut, jika dilihat dari sudut pandang Qanun Aceh yang ditolak RI dan juga
ditolak oleh sebahagian rakyat Aceh, meskipun telah disahkan oleh DPR Aceh dan
ditandatangani oleh Eksekutif (Gubernur Aceh) maka seharusnya bendera BB ini
telah legal di kibarkan di Aceh dalam bingkai NKRI dengan posisi tidak sejajar
atau lebih tinggi dari MP namun harus dikibarkan di bawah MP sesuai dengan Isi
qanun tersebut, namun bagi sebagian orang Aceh yang melihat bendera BB dengan
cara pandang pertama di atas (Bendera Neugara Aceh) hal ini tidak bisa
diterima, karena merendahkan Simbul Kedaulatan Aceh, begitu juga dengan RI yang
jelas mengharamkan pengibaran bendera tersebut dengan atau tanpa Merah Putih,
lebih dari itu cara pandang kedua ini juga akan terus menuai kontroversi ketika
DPRA dan Gubernur Aceh hanya berani mengesahkan qanun dan “memprovokasi” rakyat
Aceh yang mempunyai cara pandang ke dua untuk mengibarkan BB, namun mereka yang
berada dan berkuasa di pemerintahan atau pemerintah Aceh tidak berani melakukan
apa yang telah mereka sahkan dengan tuntas, bahkan cenderung bendera BB
dijadikan “sentiment kusus” untuk tetap memikat rakyat bahwa mereka (Pemerintah
Aceh) sangat serius memperjuangkan aspirasi rakyat Aceh yang mempunyai cara pandang
yang sama dengan mereka (pemerintah Aceh). Sehingga Qanun dan bendera BB tetap
digantungkan, disahkan namun tidak dilaksanakan dan juga tidak dibatalkan.
Alhasil rakyat Aceh dengan rela atau tidak seperti sengaja di adu dengan
Jakarta (RI), “Bendera BB sudah bisa dikibarkan, namun kami tidak berani
mengibarkan” demikianlah pesan yang terkirim dari cara Pemerintah Aceh
memperlakukan Qanun, bendera BB dan rakyat Aceh yang pro bendera BB tersebut.
3.
BB sebagai bendera GAM
Selain dua cara pandang tersebut di atas masih ada cara pandang lain yaitu Bendera
BB dianggap sebagai bendera GAM, jika dilihat dari sudut pandang ini maka,
bagi anggota GAM baik yang sipil maupun yang eks sayap militer (kombatan yang
telah dibubarkan), maka bendera ini tidak bisa dirubah walau sedikitpun, namun
mereka terpecah kepada dua golongan di atas (cara pandang satu dan dua) bagi
yang berpandangan dengan cara pertama maka mereka lebih memilih untuk
menyelamatkan perjuangan mereka dengan tidak mengibarkan bendera BB di bawah
MP, sementara terkait dengan adanya kesepakatan terkait bendera daerah dalam MoU Helsinki maka
mereka terlihat lebih terbuka yaitu dengan “memilih” mencari solusi lain yaitu bendera
BB harus diselamatkan dan tetap menjadi simbul kedaulatan Neugara Aceh dan
bendera daerah harus dikibarkan dengan corak yang diterima oleh seluruh rakyat
Aceh yang juga merupakan WNI sehingga harus mengakomodir keinginan semua pihak dan sesuai dengan UURI,
sementara bagi RI jika melihat dari sudut pandang ke tiga ini sama saja dengan
melihat dari sudut pandang pertama yang diharamkan pengibarannya baik sejajar
maupun dibawah MP sekalipun, karena RI menganggap pengibaran bendera BB
tersebut bertentangan dengan PP RI, Pasal 18PP No.77/2007 terkait dengan Bendera daerah.
Nah
sejatinya polemik terkait dengan Bendera tersebut dikarenakan oleh tidak adanya
cara pandang yang seragam terhadap keberadaan Bendera Bintang Bulan, jika
masing-masing pihak tidak ada yang mau membuka diri untuk kompromi maka bisa
dipastikan polemik tersebut tidak akan selesai, bukan hanya sebatas bisa atau
tidaknya BB dikibarkan, namun juga terkait dengan dampak yang ditimbulkan oleh polemik
tersebut yang akan terus mengganggu hubungan Aceh dengan Jakarta yang bedampak
pada lancar atau macetnya pembangunan di Aceh.
Jika
ini terus dibiarkan maka “damai di Aceh” akan sangat sulit digerakkan untuk
menjadi damai yang bermuara pada pembangunan dan kemajuan Aceh, diakui atau
tidak sentiment itu tidak sederhana karena memberikan dampak yang sangat besar
terhadap kemajuan Aceh, lihat saja di setiap “kata yang keluar” terkait dengan
BB tersebut, selalu saja menyulut tanggapan yang beragam dari rakyat Aceh, yang
sangat mungkin jadi akan dimanfaatkan oleh pihak tertentu untuk kepentingan
mereka masing-masing dengan “mengatasnamakan” kepentingan rakyat apa lagi hal
ini terkesan selalu “dipanaskan” ketika mendekati momentum politik, baik pileg
maupun pilkada di Aceh, yang terbukti masih sangat ampuh untuk mengaduk emosi
Rakyat Aceh, namun persoalan tetap saja tidak selesai bahkan terkesan sengaja “dilestarikan” agar selalu saja bisa dimanfaatkan ketika mereka butuh.
Bagaimana anda melihat bendera Bendera Bintang Bulan?