Aceh, Rabu 22 April 2015 menjadi hari yang memilukan bagi sebagian kalangan di Aceh, di mana pada hari itu kantor pusat Bank "Haram" Aceh yang beralamat di Ibu kota terbakar habis, gedung berlantai tiga itu hangus dilalap si jago merah dan kabar "duka" itu dilengkapi dengan cerita tragis yang dialami salah seorang operator IT Bank Aceh yang meninggal setelah terjebak di lantai tiga.
Ekses dari peristiwa itu berbagai tanggapan dan reaksipun bermunculan ada yang berduka, ada yang biasa saja dan ada pula yang "bersuka cita", itu semua sangat tergantung dari siapa yang memandang dan dari sudut pandang mana ia melihat.
Yang berduka bisa jadi ia melihat kebakaran ini sebagai musibah, sementara yang lain ada yang melihat kebakaran ini sebagai peringatan atau bahkan kutukan Tuhan atas apa yang dilakukan manusia yang melata di atas bumi Aceh ini. Kita semua tau bahwa Aceh telah diproklamirkan sebagai daerah teritorial yang "sedang" menerapkan syariat Islam, hampir di setiap kesempatan kita menggaungkan ayat Tuhan (syari'at), hampir di setiap momentum pemimpin Aceh "menggemakan" syariat Islam dari mulutnya, mulut dan bicara kita layaknya ucapan Rasululullah yang senantiasa menyeru orang ke jalan Allah, sementara perbuatan kita sebaliknya senantiasa mengangkangi aturan Allah, praktek ribawi dalam kehidupan kita telah menjadi kebiasaan, penipuan dan pengibulan telah menjadi kebanggaan, kita selalu bicara syariat yang pada realitasnya kita selalu mengangkangi syariat.
DAMKAR 16 MILIAR UNTUK APA?
Namun demikian terlepas dari seberapa "jahannam" apa yang telah dan sedang kita lakukan, terlepas dari pro dan kontra ada hal menarik yang layak dicermati terkait kebakaran ini, beberapa saat yang lalu media dan khalayak di Aceh sempat di hebohkan dengan berita pengadaan Damkar super mahal yang dilakukan oleh pemerintah Aceh, Mobil Pemadam kebakaran produk Swedia ini dibeli seharga Rp16,8 miliar. Dikabarkan Dana tersebut dirogoh dari dana Otonomi Khusus Aceh.
Pengadaan mobil mahal nan mubazir itu mendapat protes dari berbagai pihak, namun pemerintah Aceh tetap bergeming, dengan dalih di Aceh ada gedung bertingkat yang apabila terjadi kebakaran sangat sulit ditangani dengan fasilitas (damkar) yang sudah ada yang dinilai tidak memadai, sehingga Aceh membutuhkan Damkar yang lebih super, lebih "bajingan" lagi pengadaan Damkar bernilai milyaran rupian tersebut "diduga" sarat dengan masalah, bahkan aktivis antikorupsi mempertanyakan harga mobil tersebut. Diduga ada praktik kecurangan dalam proses pengadaan mobil itu. Apalagi mobil dibeli dari Swedia, negara tempat Gubernur Aceh Zaini Abdullah bermukim sebelum "menguasai" Aceh.
Dan ternyata Damkar yang super mahal tersebut terbukti tidak membawa manfaat sama sekali ketika terjadi kebakaran di kantor Bank Aceh Rabu 22 April 2015 kemarin, selain karena datangnya terlambat "KEMUBAZIRAN" pengadaan mobil pemadam super mahal tersebut dikuatkan oleh pernyataan Ridwan, Kalak BPBD Banda Aceh. Kepada Serambi Indonesia ia mengatakan "Mobil ini daya tembaknja 30 Bar per menit. Kalaupun kita kerahkan lebih awal, sama saja, airnya satu menit sudah habis" demikian ujar Ridwan, Kalak BPBD Banda Aceh.
Dari pernyataan Ridwan tersebut jelas kiranya bahwa Damkar tersebut muthlak sia-sia, karena bisa dipastikan untuk memadamkan kebakaran gedung Bank Aceh yang lokasinya sangat mudah dijangkau tidak mampu, dikuatkan lagi dengan pernyataan bahwa "durasi" penggunaannya tidak sampai satu menit.
Waduhhh....
Atas dasar itu kiranya dari berbagai tanda tanya yang muncul terkait dengan peristiwa kebakaran tersebut, ada satu pertanyaan yang sangat pantas dilemparkan kepada pihak yang telah menghambur-hamburkan uang rakyat Aceh hanya untuk membeli sesuatu yang tidak membawa manfaat kepada rakyat.
UNTUK DAMKAR 16 MILYAR DOTO?
Untuk padamkan rokok lo?
Yang sebatang lagi itu biar tidak habis-habis?