REFLEKSI 10 TAHUN
NORMALISASI ACEH DAN 70 TAHUN INDONESIA.
Hari ini 15 Agustus
tepat 10 Tahun yang lalu sebuah perjanjian penghentian perang bersenjata telah
ditanda tangani oleh para pihak yang sama-sama pernah memuntahkan peluru di
tanah Indatu meski dengan dalih dan alasan yang berbeda, Indonesia berdalih
untuk tetap mempertahankan kekuasaan di tanah Aceh, sementara GAM berdalih
untuk merebut kembali hak kuasanya atas tanah leluhur, setidaknya itu yang saya
rekam dan simpulkan dari bermacam ragam argumentasi yang menyebabkan senjata
tak berhenti memuntahkan peluru dan darah tak berhenti mengalir. Oh ternyata ada
pihak yang menyalahkan pihak lainnya, salah satu dari kedua pihak atau bahkan
kedua-duanya itu merupakan sebuah cara pandang yang tidak bisa ditampik, sama
halnya dengan cara pandang kedua belah pihak dengan segenap alasannya yang
membenarkan keputusannya untuk memuntahkan peluru dan menghabisi pihak lain.
Alhasil tanah Aceh
berlumuran darah, anak yatim, janda dan ahli waris korban perang mulai “terpaksa”
atau “rela” harus menerima nasib ditinggalkan oleh orang-orang tercinta, yang
meninggal tamatlah sudah riwayatnya, yang masih hidup tetap mempertanyakan
nasibnya dan menantikan takdirnya, desingan peluru, dentuman bom, terjangan
sepatu serdadu, ancaman penculikan, rumahnya dibakar, hartanya dirampas,
perempuannya diperkosa itu adalah hantu yang tidak diinginkan oleh siapapun,
namun bagi rakyat Aceh hantu itu ada didepan mata, trauma sungguh merupakan
sebuah konsekwensi, naik gunung adalah sebuah pilihan, meninggalkan kampung halaman
adalah opsi lainnya, jangan tanya siapa yang menginginkan hal tersebut, tidak
ada orang gila yang ingin ceumekamnya diinjak, kepalanya ditendang, kukunya
dicabut paksa, hak hidupnya dirampas, kesempatan mengenyam pendidikan demi masa
depan yang lebih cerah direnggut perang, sungguh tidak ada orang gila yang
seperti itu, konon lagi orang Aceh yang tidak Gila alias waras.
Toh kemudian orang
menyebut Aceh Pungo, ya Aceh gila memang, orang Aceh telah melakukan
yang tidak berani dilakukan oleh orang waras dari pulau manapun yang sekarang
ditancapkan Merah Putihnya, kecuali orang Papua yang sampai hari ini masih gila
dengan kegilaannya yang terus angkat senjata, tapi orang Aceh sejatinya tak
pernah gila yang gila adalah mereka yang menganggap orang Aceh dan orang Papua
yang cukup waras sebagai orang gila.
Oh ternyata ada
orang yang menuduh perlawanan itu hanya untuk kekuasasaan, toh yang berusaha
mempertahankan semua untuk apa? Ada yang mengatakan Aceh dan Papua melakukan
perlawanan demi kekayaan? Toh yang berusaha mempertahankan semua untuk apa? Ada
yang mengatakan alasan demi harga diri orang Aceh dan Papua tak cukup alasan
alias terlalu Naif? Toh yang berusaha mempertahankan semua untuk apa? Alasan apa
yang konon layak dianggap lebih pantas untuk mempertahankan semua dengan
selembar Merah Putih? Apa yang layak dibanggakan? Apa yang layak ditonjolkan? Kenapa kalian melawan Belanda? Alasan apa yang membuat kalian bangga
dengan perlawanan itu? Untuk menguasai puncak pemerintah? Untuk menguasai semua
kekayaan? Boleh-boleh saja kalian berdalih demi harga diri, demi bumi pertiwi,
demi anak cucu, demi ini, demi itu, toh yang kami rasa tidak lebih dari
kehidupan di bawah koloni yang koruptif, diskriminatif, yang penuh dengan
kedustaan, yang tidak luput dari penglkhianatan, yang tidak pernah bisa
memberikan kami kemakmuran. Kami gila karena kalian tak cukup waras, kami bodoh
karena kalian tak cukup pandai, kami tertinggal karena kalian takcukup maju,
kami miskin karena kalian tak cukup makmur, kami lapar karena kalian tak cukup
kenyang.
Sudahlah…
Itu semua sungguh
tak pernah beguna untuk diperdebatkan kalau memang kehidupan sebelum 10 tahun
lalu dan 70 tahun lalu tidak bisa memberikan kemakmuran yang berkeadilan untuk
semua sama halnya dengan hari ini, Aceh dan Indonesia sunggun belum berhasil
mewujudkan cita-citanya untuk memakmurkan rakyatnya jika memang itu sebuah
tekad yang masih ada dalam benak para penguasa negeri ini.
Kita harus jujur 10
Tahun yang sudah berlalu jauh lebih baik dari masa perang, peluru tidak lagi
menghambat dan merenggut hak anak negeri untuk menuntut ilmu, bom tidak lagi
menghambat penapak negeri ini untuk mencari nafkah, sungguh itu sebuah rahmat
yang sangat layak disyukuri, sama halnya seperti ketika Belanda dengan Merah Putih
Birunya memberikan keleluasaan bagi anak negeri Indonesia untuk kembali
mendapat kesempatannya untuk hidup normal. Pun demikian kita harus jujur 10
tahun yang sudah berlalu, atau bahkan 70 Tahun yang sudah berlalu belum bisa
dikatakan kita telah sukses menjadi bangsa yang merdeka, hidup aman, tentram, adil, makmur dan sejahtera, sudah selayaknya kita harus akui kekurangan itu, kita
harus melihat semua kisah pahit, getir, sempit, melarat yang pernah kita alami
sebagai pelajaran, agar kesalahan di masa lalu tidak lagi terulang di masa mendatang,
semua yang telah berlalu tidak boleh dilupakan, sehingga kita senantiasa terus
berusaha terhindar dari kesalahan yang sama atau bahkan yang lebih buruk dari
itu.
Seharusnya kita
merasa bertanggung jawab!
Wahai bangsaku mari
kita buka mata, kebanyakan rakyat Aceh dan juga Indonesia semakin hari semakin
terpuruk, tapi tidak sedikit juga yang semakin hari semakin meraja, menggagahi
semua, menghalalkan semua, ingin memiliki semua, tapi itulah manusia, meskipun
begitu kita tetap harus memperjuangkan dan terus berupaya untuk dapat
menempatkan sesuatu pada tempatnya, dan melakukan sesuatu pada sa'atnya. Orang bijak berkata "Untuk apa meruntuhkan kerajaan Iblis jika hanya untuk menegakkan singgasana syeithan?" artinya jika pendahulu kita atau kita dibuat kecewa karena kesemena-menaan orang lain sehingga memaksa kita melawan dan meruntuhkannya, maka sudah seharusnya kita tidak melakukan hal yang sama, tidak menjajah, tidak menindas dan tidak mengkhianati anak cucu kita agar kita tidak dilawan dan dimusuhi di hari kelak.
Semoga 10 Tahun
Damai menjadi titik lonjak menuju Aceh yang lebih
adil dan sejahtera!
Karena jika kita kembali terperosok pada kesalahan
yang sama maka semua kita harus bertanggung jawab kepada anak cucu kita yang
harus menanggung akibatnya, bayangkan,
fikirkan, renungkan!
Seharusnya kita
merasa bertanggung jawab untuk diri, lingkungan dan keadaan di sekeliling kita,
bukan terus menyalahkan yang di seberang laut sana, Semoga saja semua
kekurangan hari ini dan kemarin itu bisa tergantikan dengan masa depan yang lebih
cerah untuk kita dan generasi penerus kita.
DAMAILAH ACEHKU UNTUK
SELAMANYA, MERDEKALAH BANGSAKU UNTUK SETERUSNYA!