(TANPA
KEADILAN, MAKA PEMEKARAN ADALAH JAWABAN)
Untuk
apa kita bersama jika hanya untuk saling menggagahi dan saling menyakiti?
Mungkin itulah pertanyaan yang peling tepat dilemparkan kepada Penguasa (Elit)
Aceh Besar, yang selama ini didominasi oleh tiga kawasan yaitu Sibreh, Montasik
dan Samahani atau yang di singkat dengan SMS, tak ayal realitas ini memantik
kecemburuan dari pendudukan Aceh besar yang berasal dari luar kawasan SMS
tersebut.
Sejatinya
Issu ketidak adilan dan ketidak merataan perhatian pemkab Aceh Besar bukan hal
baru, artinya bukan baru kali ini digaungkan. Kita semua tau (kecuali yang
tidak) jauh sebelum tulisan ini saya tulis bahwa sudah terlebih dahulu ada
pihak-pihak yang menyuarakan ataupun menuntut pemekaran Aceh besar menjadi
beberapa kabupaten semisal Aceh Raya dan Aceh Rayeuk, jika ditelusuri terkait
“alasan” yang mendorong lahirnya tuntutan pemekaran tersebut sebenarnya
dilatari oleh berbagai “persoalan” yang dirasa tidak Ideal lagi untuk
dipertahankan Aceh Besar seperti sekarang di antaranya yaitu persoalan luas
wilayah yang meliputi dari Lhoong hingga ke Krueng Raya dan Pulo Aceh hingga ke
Lembah Seulawah, yang membuat rentan kendali (administrasi) pemerintahan cukup
sulit dijangkau terutama oleh masyarakat Aceh Besar yang berada di wilayah
pesisir dan yang paling kentara adalah persoalan ketidak merataan perhatian
pemerintah yang berujung pada kesenjangan pembangunan yang pada akhirnya
menimbulkan perasaan dianaktirikan bagi sebahagian masyarakat Aceh Besar yang
berasal dari wilayah yang terabaikan tersebut.
Pernyataan
tersebut sungguh bukan Isapan jempol belaka, namun hal tersebut semakin hari
semakin keras disuarakan oleh masyarakat Aceh Besar yang berasal dari wilayah
yang “luput” dari perhatian “Elit” Aceh Besar, misalnya apa yang diutarakan
oleh Muhaji Al-Fairusy yang berasal dari Seulimum dalam sebuah kesempatan ia
menuliskan panjang lebar terkait kesenjangan pembangunan di Aceh Besar yang
menurutnya sangat “pantas” dipertanyakan, ia menuturkan “SMS (Sibreh,
Montasiek, dan Samahani) Aceh Rayeuk, selalu identik dengan tiga wilayah SMS,
baik pembangunan maupun perhatian elite di Jantho yang didominasi oleh tiga
wilayah tersebut. Hingga, akhirnya ada istilah untuk selain tiga
wilayah tersebut adalah "Aceh Rap Rhet" (Aceh Hampir
Jatuh) bukan Aceh Rayeuk. Beberapa orang kolega di Kecamatan Seulimum, mengeluh
pembangunan Aceh Rayeuk sekarang, di bawah kendali elite Samahani, pembangunan
lebih dititik beratkan pada Kuta Malaka, abai pada infrastruktur Kecamatan lain.
Sebut saja, jalan tembus Krueng Raya-ie Suum-Lamteuba-Lampanah-Lam Kabeu,
nyaris tak tersentuh, bahkan menemui titik parah, akhirnya ekonomi masyarakat
kaki seulawah tersebut kian regresif. Padahal, tercatat hampir 8 ribu penduduk
bermukin di wilayah kaki seulawah tersebut. Rezim bupati di Aceh Rayeuk memang
terus berganti (oleh elite dominan tiga wilayah SMS), namun pembangunan "Aceh
Rap Rhet" tak pernah dinamis, belum lagi persoalan wilayah hujung
(Lhong, Leupung dan Pulo Aceh), selain memang karena mental masyarakat yang
sulit bangkit karena kultur tak dinamis, juga disuntik oleh sikap elite yang
sering abai terhadap infrastruktur. Karena itu, banyak masyarakat pedalaman di
kawasan “Aceh Rap Rhet” kemudian mengambil sikap pragmatis nan
negatif, seperti memupuk ganja yang dilarang negara, dan terus melakukan
illegal logging, atau pengrusakan lingkungan lainnya-konfigurasi buruknya wajah
ekonomi dan mental masyarakat yang diabaikan oleh pembangunan.” Demikian tegas
Muhajir.
Lebih
lanjut ia mengatakan tulisan tentang ini, ia buat untuk mengakomodir pekikan
masyarakat (potret) wilayah “Aceh Rap Rhet”, jika pemekaran bukan
solusi, maka pemerataan pembangunan harus mejadi kunci "keadilan bagi
seluruh rakyat Aceh Besar." demikian
pungkasnya.
Tulisan
tersebut mendapat tanggapan beragam dari masyarakat lain yang berasal dari
kawasan yang berbeda di Aceh Besar, misalnya apa yang ditulis Juanda Djamal untuk menanggapi tulisan Muhajir
Al-Fairusy, menurut Juanda “Keseimbangan pembangunan sangat ditentukan
oleh kuatnya masyarakat, ketidak merataan pembangunan disebabkan oleh pengaruh
kaum kapital ke pemerintah, pemerintah dapat didikte oleh kaum kapital yang
hanya berorientasi pada kepentingannya yang sempit. Untuk merubah itu, maka
masyarakat mesti ditingkatkan kapasitas maupun perannannya”. Sementara itu Adi
Fa menuliskan “Para
pengambil kebijakan selalu mengutamakan daerah nya sendiri” ini menunjukkan
bahwa ada perasaan di anak tirikan yang dirasakan oleh masyarakat di sebagian
wilayah di Aceh Besar.
Bahkan
Lebih keras lagi Muhammad Ramadhan Al-Faruq Aceh mengatakan
“Saatnya masyaralkat dari kawasan GLISELA (KUTA COT GLI, LEMBAH SEULAWAH DAN
LAMTEUBA) bicara, kita bergerak sama-sama, kami dari kawasan DARAKU JAYA
(DARUSSALAM, MESJID RAYA, KUTA BAROE, BARONA JAYA) juga merasakan hal yang
sama, tinggal kita "bangunkan" IMOLA (Ingin Jaya, Montasik dan
Blangbintang) dan bek tuwoe L3P (LHOKNGA,LHONG, LEUPUNG, PULOE ACEH) plus
kawan-kawan dari beberapa kawasan lainnya untuk sesegera mungkin menyadari
ketidak adilan ini”. Nah dari Tulisan Muhajir dan berbagai tanggapan yang
muncul jelas tergambar bahwa banyak masyarakat di Aceh besar yang merasa tidak
mendapat perhatian dari Elit yang berkuasa di Jantho, sehingga tidak
mengherankan jika pada akhirnya akan mengarah pada permintaan atau tuntutan
pemekaran Aceh Besar, ini semua tidak terlepas dari ketidak adilan dan
kesenjangan pembangunan dari Pemkab Aceh Besar yang terkesan pilih kasih.
Belum
lagi jika dikaitkan dengan kesenjangan antara pembangunan Aceh Besar dengan
tetangganya Banda Aceh, yang bukan mustahil akan memunculkan tuntutan dari sebahagian
pihak yang kecewa dengan Elit Aceh Besar untuk bergabung dengan Banda Aceh, ini
juga pada dasarnya tidak terlepas dari ketidak mampuan Pemkab Aceh Besar dalam
mensejahterakan Rakyatnya, sehingga pada akhirnya kekecewaan dan kecemburuan
tersebut bisa saja menggiring masyarakat pada tuntutan-tuntutan yang lebih
ekstreem semisal pemekaran Provinsi Aceh Rayeuk yang terpisah dari Aceh selama
ini yang meliputi tiga Kabupaten Kota yakni Aceh Besar, Banda Aceh dan Kota
Sabang.
Whell, semua mungkin terjadi,
tidak ada yang bisa dipastikan aman, Jika keadilan tidak terwujud maka
pemekaran akan “dipaksa” menjadi solusi.
KEADILAN ADALAH KUNCI PERPISAHAN ADALAH PINTU!
Aceh & Papua minta pisah dari Indonesia karena?
ALA & ABAS minta pisah dari Aceh karena?
Aceh Raya & Aceh Rayeuk minta pisah dari Aceh Besar karena?
Kalau bersama lebih baik, kenapa harus pisah?
Wahakaza 'aksuhu...