8
November 17 tahun silam, Sidang rakyat yang diklaim dihadiri lebih dari 1,5
juta rakyat Aceh di pelataran Masjid Raya Baiturrahman tersebut telah berlalu,
selain meluapkan kemarahan terhadap ketidakdilan yang menimpa Aceh, rakyat juga
diajak mendengarkan orasi tokoh-tokoh Aceh yang bertajukkan REFERENDUM tersebut.
Rakyat Aceh dengan senang hati menggunakan ikat kepala bertuliskan
“Referendum.” Emosi mereka diaduk-aduk oleh isi pidato heroik dari tokoh Aceh.
Pelataran masjid menjadi saksi pekikan “Allahu Akbar”, alunan shalawat nabi,
hikayat Perang Sabil, dan zikir.
Jauh
sebelum itu tepatnya 4 Desember 1976 salah satu Putra Aceh yang kemudian
disebut Ayah Ideologi keAcehan Aceh pasca Indonesia merdeka juga telah
memproklamirkan “kemerdekaaan” Aceh dari Indoensia yang juga berarti gendering perang
untuk mengusir Indonesia dari tanah Aceh, dengan segenap korban dan
pengorbanannya akhirnya 15 Agustus 2005 lewat goresan Pena perwakilan kedua
belah pihak, Aceh kembali damai dan gagal keluar dari NKRI dengan berupa-rupa
kompensasi istimewa yang tidak dimiliki daerah lain di bumi NKRI ini.
Namun
melihat kenyataan sekarang saya hampir pada kesimpulan, Aceh belum siap untuk
merdeka, iya Aceh belum siap untuk hidup merdeka!
Aceh itu beda, Aceh itu istimewa, Aceh itu "Teuleubeh",
sebenarnya Aceh punya modal lebih untuk maju mengejar ketertinggalan dari
daerah lain, atau bahkan dari Indonesia sekalian.. Karena Secara administratif
Aceh punya komponen yang jauh lebih lengkap dari daerah lain di lndonesia
bahkan jauh lebih lengkap dari Indonesia sendiri, banyak hal yang dimiliki Aceh
tapi tidak dimiliki daerah lain di Indonesia yang apabila, andaikata, bilamana,
seandainya bisa dimaksimalkan akan sangat positif untuk kemajuan Aceh.
Kalaupun belum diakui sebagai
negara berdaulat tapi untuk kelas provinsi Aceh sudah berada di level
administratif yang paling atas bahkan (minus pengakuan secara dejure) Aceh bisa
dibilang sudah mempunyai syarat untuk menjadi "negara" kecil.
Di sisi lain Aceh juga punya modal SDA yang jauh melebihi daerah
lain di Indonesia, APBA Aceh sangat besar (atau bisa dibilang termasuk yang
besar) untuk ukuran provinsi di Indonesia. Jika kita lihat lebih jauh Aceh juga
punya modal lainnya yaitu modal sejarah yang bisa memberikan spirit lebih untuk
maju jika bisa dimaksimalkan, kita bisa mengkonversinya menjadi motifasi plus
untuk menyelamatkan atau bahkan mengejar kejayaan yang pernah diraih nenek
moyang kita.
Jika kita bisa berbangga dengan
nenek moyang kita, lantas kita "rela" mewariskan kegagalan kita
kepada anak cucu kita, yang akan menanggung malu dengan kebodohan dan kegagalan
dan kemunafikan kita? Sudah seharusnya sejarah gemilang yang kita miliki bisa
membuat kita tergugah untuk bekerja lebih keras, lebih serius, lebih iklas,
lebih tulus, lebih cerdas untuk memajukan Aceh. Bukan malah membuat kita
terlena dalam buaian masa lalu dan terus terbuai oleh kejayaan dan kekayaan
yang kita wariskan dari pendahulu kita.
Sudah sa'atnya kita berbenah,
setelah kejayaan yang pernah nenek moyang kita ukir, pengorbanan harta, jiwa,
tenaga yang telah diberikan oleh Endatoe kita dengan segenap keikhlasannya,
rasanya terlalu keji ketika kita menggunakan itu hanya untuk memenuhi hasrat,
nafsu dan kepentingan pribadi atau kelompok kita sendiri, kita akan menjadi dan
dikenang sebagai pengkianat oleh anak cucu kita kelak, mereka akan malu dengan
sejarah hitam yang kita ukir, mereka akan menjadi bangsa teukabeh.
Na'uzubillah!
Seharusnya Aceh telah bisa atau akan bisa lebih baik jika
saja kita serius, dewasa, bersatu, cerdas dan Iklas berbuat untuk Aceh, dengan
meninggalkan ego pribadi dan kelompok demi kepentingan bersama.
Dalam konteks politik Aceh punya Parlok untuk menyuarakan aspirasi
rakyat Aceh, Hasilnya? Perpolitikan kita tidak lebih sekedar
"permainan" munafik para Elit, yang semakin hari semakin berani
mengangkangi keinginan dan suara rakyat yang telah memilih dan memberikan
mandat pada mereka. Alhasil aspirasi rakyat semakin tersumbat oleh nafsu, ego,
ketulian dan kemunafikan para elit busuk yang mengatasnamakan rakyat.
Aceh punya WN untuk membina rakyat Aceh, Hasilnya? Budaya kita
semakin kabur, identitas kita semakin terkubur oleh serangan zaman, bahkan nama
Aceh berani dicatut dengan mudahnya untuk dijual di dunia
"prostitusi" dan "perbudakan" aurat perempuan semisal
kontes putrid Indonesia, miss lndonesia dan lain-lain, kemana WN yang katanya
membina dan menyelamatkan budaya dan harkat serta mertabat rakyat Aceh?
Sementara uang milyaran rupiah tiap tahunnya terus di gelontorkan kepada
lembaga WN yang akan menghuni Istana mewah di tengah keterpurukan rakyat Aceh.
Aceh punya MPD untuk memajukan pendidikan rakyat Aceh. Hasilnya?
Kualitas pendidikan Aceh semakin mendekati titik nadir, setidaknya jika kita
mengaca dari tingkat/angka kelulusan UN tiap tahunnya Aceh selalu bersaing di
papan bawah dari sekian provinsi yang ada di Indonesia. Untuk mengurus bidang
pendidikan tidak cukup hanya Depag, Depdikbud, Aceh juga punya lembaga khusus
seperti MPD yang seharusnya bisa memberikan kontribusi plus untuk memajukan
pendidikan Aceh yang pada akhirnya diharapkan dengan membaiknya kualitas
pendidikan maka akan ikut mendorong perbaikan kualitas SDM yang akan membangun
Aceh di masa depan.
Aceh punya KBA/LPSDM untuk menunjang dan membiayai pendidikan
rakyat Aceh. Hasilnya? Fungsi dari lembaga tersebut belum juga maksimal, bahkan
cenderung menjadi (tempat) paling empuk untuk mengeruk keuntungan ilegal bagi
pejabat yang berhati busuk, betapa kita melihat lembaga penyalur beasiswa itu
sarat dengan masalah, baik dalam proses penyaluran beasiswa yang tidak sesuai
sasaran maupun "dugaan" penyimpangan yang sangat-sangat merugikan
Aceh yang dalam beberapa kesempatan sempat disuarakan oleh berbagai pihak di
media massa.
Untuk menegakkan syari'at Islam Aceh punya MPU yang didirikan
khusus untuk membina agama rakyat Aceh. Aceh juga punya Dinas Syari'at Islam
(DSI) untuk mendukung dan memaksimalkan pelaksanaan syari'at dalam kehidupan
rakyat Aceh. Selain itu Aceh punya WH untuk mengawasi pelaksanaan syari'at
dalam kehidupan rakyat Aceh. Tidak berhenti di situ bahkan Aceh punya
pengadilan kusus untuk menegakkan hukum lslam yang bernama Mahkamah Syariah
untuk memutuskan hukum terhadap persoalan hukum rakyat Aceh. Hasilnya? Aspek
keagaman rakyat malah semakin menunjukkan trend negatif, pelacuran atau
perzinaan, perjudian dan juga Aliran sesat, pemurtadan, kristenisasi bahkan
korupsi semakin subur di Aceh, ironis memang, di tengah gaung penegakan
syari'at lslam di Aceh yang telah dibekali dengan seperangkat lembaga pendukung
Aceh malah menjadi lahan subur tumbuhnya kristenisasi, penegakan (pelaksanaan
qanun) syari'at juga tersendat-sendat, tebang pilih dan angin-anginan.
Seharusnya dengan semua yang dimiliki Aceh hari ini, kehidupan
rakyat Aceh sudah jauh lebih baik dari apa yang sedang kita lihat dalam
realitas Aceh 8 November 2016.
Baik dari aspek Politik (dengan adanya Parlok), dari aspek Budaya (dengan
adanya WN), aspek Pendidikan (dengan adanya MPD, LPSDM/KBA), aspek keagamaan
(dengan adanya MPU, DSI, WH, MS).
Realitas semakin jauh dari idealitas yang harus diperjuangkan,
sementara perjuangan itu masih saja digaungkan.
Kita tegakkan dinul lslam
Kita majukan pendidikan Aceh
Kita angkat harkat dan martabat dan
kebudayaan Aceh.
Inikah SUARA "ORANG" MUNAFIK yang mengatasnamakan AGAMA,
RAKYAT dan TANOEH INDATOE ACEH?
Tapi hanya untuk kepentingan
pribadi?
Atau memang si-mereka-itu serius
berjuang tapi tidak tau cara mewujudkannya?
Ntahlah...
Ada apa dengan Aceh?
Mari kita introspeksi diri untuk
berbenah...
Semoga dengan introspeksi tersebut Aceh bisa merdeka dari
keterpurukan ini di masa mendatang.