SULAIMAN ABDA TERHEMPAS KARENA POLITIK
KIH DAN KMP!
Di Aceh, KIH adalah minoritas hanya ada Nasdem 8 Kursi PKB 1 Kursi
dan PKPI 1 Kursi dan yang lumayan punya peran di DPRA adalah Partai NasDem
yang membentuk Fraksi bersama Partai Nasional Aceh.
Jikapun ada yang mencoba menggiring opini bahwa Sulaiman Abda
adalah sosok yang paling "penting" untuk di singkirkan oleh Elit
Politik Parnas dan Parlok, saya melihat alasan ini terlalu mengada-ngada atau
setidaknya kurang tepat, betapa tidak?
Sulaiman Abda bukanlah politikus bertipikal petarung, bahkan sejauh
ini saya melihat bahwa Sulaiman Abda adalah seorang politikus dengan karakter
paling kompromistis, siapapun yang berkuasa dia akan selalu punya cara untuk masuk
kekuasaan, dia tidak punya mental untuk bertahan sebagai Oposisi ini adalah
tipikal yang sangat kental dan sehati dengan GOLKAR di tingkat Nasional dan
sejatinya ini adalah tipikal ARB.
Lalu kenapa kali ini Sulaiman Abda berada di pihak berseberangan
dengan ARB, saya melihat ini lebih kepada kesalahan ARB yang terbawa gengsi
Prabowo sehingga ia memilih berada di KMP yang terlihat Oposan, namun di sisi
lain saya juga melihat bahwa ARB berada di luar pemerintahan karena dilangkahi (didahului) Agung Laksono yang kudu berafiliasi dengan JK dan sayangnja yang berkuasa adalah PDI P
yang punya sejarah pertarungan panjang dengan Golkar sehingga perpecahan di
tubuh Golkar yang berawal dari kebiasaan Golkar bermain dengan gaya politik dua
kaki yang ternyata di manfaatkan oleh Megawati untuk membunuh Golkar (dan juga
PPP).
Kenapa PDI P berkepentingan untuk tetap melestarikan perpecahan di
tubuh Golkar?
Nah di sini kita bisa melihat kecerdasan sekaligus keculasan PDI P
untuk mengalahkan musuh tradisionalnya tanpa perlu bertarung, dengan terjadinya
perpecahan di tubuh Golkar dan juga PPP di lengkapi dengan aturan yang dipegang
KPU bahwa partai yang terjadi dualisme kepengurusan baru bisa mengikuti
kontenstasi demokrasi dalam hal ini Pilkada harus mengumpulkan atau mencapai
konsensus internal agar bisa di rekomendasi oleh dua kubu yang sengaja
dibenturkan dan tetap dilestarikan perpecahannya dengan satu dibiarkan di dalam
pemerintahan sementara kubu lainnya dipaksa berada diluar, ini sama saja dengan
mematikan langkah Golkar dan PPP untuk ikut bersaing dengan PDIP, bagi PDIP ini
adalah kemenangan besar atas musuh tradisionalnya sekaligus balas dendam atas
nasib kritis PDI (sebagai induk PDIP) dulunya yang dipaksa bertahan hidup
selama 32 tahun diluar pemerintahan.
So dengan segala aroma permusuhan PDIP dengan GOLKAR dan PPP serta
keberadaan KIH dan KMP di tingkat nasional ini membuat kader Golkar dan PPP
yang memang "sudah terbiasa" dengan politik dua kaki dan selalu di
pemerintahan dihadapkan pada pilihan untuk (wajib) berpihak ke salah satu kubu
apakah ke kubu pengurus di KIH atau KMP.
Nah di sinilah Sulaiman Abda terjebak, ia memilih kubu Agung yang
konon sengaja dimenangkan oleh PDIP (Baca: Rezim Jokowi) karena Agung Laksono
yang memilih berafiliasi dengan Jusuf Kalla yang sekarang menjabat wakil
presiden dan sebenarnya Sulaiman Abda sudah tepat memilih kubu Agung jika kita
mengacu pada kekuatan Politik Nasional Indonesia di mana Agung berada di
pemerintahan.
Namun kalkulasi ini sangat berbanding terbalik dengan peta politik
di Aceh, kita sama-sama tahu di DPR A didominasi oleh Partai yang berada di
kubu KMP dilengkapi dengan keberadaan PA yang di komandoi Muzakkir Manaf juga
berkuasa di DPRA, sementara kursi yang dikuasai oleh Partai yang berada di kubu
KIH adalah Minoritas, sementara Sulaiman Abda telah "terlanjur"
menyatakan sikap untuk memihak ke kubu Agung Laksono yang secara peta politik
nasional berada di kubu KIH yang minonritas di Aceh, sehingga terhempaslah
Sulaiman Abda dari kursi Wakil Ketua DPR A yang didominasi oleh kubu KMP.
So...Bukankah Sulaiman Abda adalah korban pertarungan KIH dan KMP?
Ntahlah...
Dukungan dan opini boleh digiring tapi Kepentingan mayoritas akan
selalu berkuasa untuk menyingkirkan siapapun di era demokrasi seliberal di
Indonesia sekarang, soal etika itu urusan belakangan.